Jazz (Foto: Blogspot) |
Di
Amerika, awal 1900-an, segolongan kelompok imigran dari Afrika, berkulit hitam,
sesungguhnya menyimpan pesan yang sangat mendalam atas pengekangan individu dan
kemerdekaan bagi korban kasus rasisme melalui penciptaan musik. Musik itulah
yang kita kenal sekarang sebagai musik jazz.
Kelahiran
jazz merupakan simbol perlawanan terhadap ketidakbebesan dan ketidakadilan
dalam bentuk rasisme. Seiring perkembangan dunia industri budaya, melalui roda
ekonomi kapitalisme, segala sesuatu diciptakan homogen dengan motif penambahan
nilai (keuntungan). Dari situlah, sesuatu yang menjadi besar dan membeludak
akan mencari mediumnya kembali atau wadahnya untuk (kembali) berkembang.
Perkembangan fase berikutnya akan jauh berbeda nilainya dengan nilai-nilai di
awal. Seperti itu pulalah jazz, yang telah merebak dan membeludak ke berbagai
penjuru dunia, termasuk Indonesia.
Seperti yang kita
ketahui belakangan ini, musik jazz membeludak. Bukan musik jazznya yang membeludak,
melainkan peminatnyalah yang mengalami peningkatan drastis atau membeludak.
Musik jazz telah diminati oleh pelbagai kalangan, dibicarakan oleh pelbagai
profesi, dan didengarkan atas pelbagai latar situasi.
Belakangan ini pula kita dapat
melihat fenomena jazz yang ditunjukkan melalui konser-konser istimewa –maksud
saya, istimewa bila dibandingkan konser-konser musik lainnya- di tempat-tempat
yang istimewa pula. Ya, itulah fakta bahwa konser (pertunjukan) musik jazz
dikemas secara istimewa: tempat dan situasi. Sebuah musik berkelas.
Musik
jazz ditampilkan di tempat-tempat khusus yang dapat mengidentifikasi
pengunjungnya sebagai individu istimewa. Istimewa dalam strata ekonominya dan
istimewa dalam menikmati ektetika musiknya. Kafe-kafe nan elegan dan tempat
bercitarasa seni yang tinggi biasanya jadi tempat pertunjukan musik jazz. Tiket
konser musik jazz bisa mencapai jutaan rupiah. Bahkan, artis-artis bintang
tamunya pun istimewa, bukan sembarang pemusik, yang menjadikan pertunjukan lebih
istimewa. Di sanalah musik jazz menjadi identitas sosial: ekonomi menengah ke
atas dan berestetika tinggi.
Begitulah
musik, pada umumnya seni-budaya, di dalam ruang kapitalisasi. Musik bukan
sebagai seni semata, bukan sebagai refleksi sosial semata, bukan sebagai
“pesan” komunitas terhadap penguasa semata, tetapi lebih utama ialah sebagai
identitas. Penikmat musik dangdut tidak lebih baik ketimbang penikmat
musik-musik ‘import’. Penikmat musik etnik tidak lebih baik ketimbang penikmat
musik-musik bernuansa Eropa. Penikmat musik religi tidak lebih baik ketimbang
penikmat musik-musik rock atau musik cadas. Ada golongannya masing-masing.
Terlepas
dari sisi kualitasnya (content),
sesuatu perlawanan dan korban adalah nilai lebih. Sama seperti daya tarik jual
di pasaran. Sama halnya musik jazz, yang memulai hidup dari musik perlawanan
dan perjuangan para korban. Kuncinya adalah empati. Empati dimunculkan sebagai
daya tarik massa terhadap penawaran komoditas. Pola konsumsi-distribusi jazz
seperti itu tidak ubahnya bentuk-bentuk budaya lainnya, seperti celana jeans,
rantai (pernak-pernaik) celana atau dompet, siaran Termehek-Mehek dan siara-siaran televisi yang mengeksploitasi
kemiskinan, dan sebagainya. Sesuatu yang “miskin” itu sangat laku dijual di
pasaran, sesuatu yang “menyakitkan” itu sangat laris-manis di pasaran, dan
sesuatu yang “menyedihkan” itu sangat diminati pasar. Nilai empati dijual
dengan kemasan menarik.
Pendengar
menjadi cenderung mengabaikan isi dan estetikanya. Penikmat hanya mengikuti
arus konsumsi massa sebagai identifikasi dirinya. Unsur-unsur, pesan, nilai
moral, dan bahkan historinya tidak digubris
oleh pendengar.
Nilai
ekonomi membentuk strata sosial. Dengan tawaran musik jazz seperti itulah massa
(pendengar musik jazz) pun terbuai oleh ‘rayuan’ seakan-akan “menjadi penikmat
musik bercitarasa tinggi” dan berkelas ekonomi menengah ke atas.
Pada kenyataannya,
tidak ada kenikmatan bebas yang dirasakan oleh pendengarnya setelah menikmati
konser musik jazz, seperti nilai histori yang terkandung di dalam musik jazz
itu. Tidak ada muncul wacana-wacana kebebasan maupun wacana-wanaca antirasisme
yang dilakukan oleh pendengarnya setelah menikmati konser musik jazz.
Jadi,
industri musik telah mengabaikan banyak maksud dan nilai di balik musik jazz.
Musik jazz yang berkonser di kota-kota besar, di tempat-tempat elegan, dan di
kafe-kafe hanyalah sebatas ritual pengidentifikasian strata ekonomi diri;
konsumsi. Begitulah fakta kebanyakan pendengar musik jazz yang terselenggara
–kebanyakan konser jazz di Indonesia disponsori oleh produsen-produsen rokok
dengan menargetkan pasar para pemuda- dengan harga tiket yang cukup mahal.
Inilah sisi lain dari fenomena membeludaknya konsumsi musik jazz.
Kalau
kita tidak jeli menyiasati serta memahami untuk apa dan bagaimana menikmati
musik jazz, maka kita (konsumen konser jazz) hanya menjadi konsumen aktif
semata dalam arus industri musik.
Fredy
Wansyah
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.