ARTIKEL PINTASAN

Wednesday, June 12, 2013

Konsumsi Musik Jazz


           
Jazz (Foto: Blogspot)
Di Amerika, awal 1900-an, segolongan kelompok imigran dari Afrika, berkulit hitam, sesungguhnya menyimpan pesan yang sangat mendalam atas pengekangan individu dan kemerdekaan bagi korban kasus rasisme melalui penciptaan musik. Musik itulah yang kita kenal sekarang sebagai musik jazz.
            Kelahiran jazz merupakan simbol perlawanan terhadap ketidakbebesan dan ketidakadilan dalam bentuk rasisme. Seiring perkembangan dunia industri budaya, melalui roda ekonomi kapitalisme, segala sesuatu diciptakan homogen dengan motif penambahan nilai (keuntungan). Dari situlah, sesuatu yang menjadi besar dan membeludak akan mencari mediumnya kembali atau wadahnya untuk (kembali) berkembang. Perkembangan fase berikutnya akan jauh berbeda nilainya dengan nilai-nilai di awal. Seperti itu pulalah jazz, yang telah merebak dan membeludak ke berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia.
Seperti yang kita ketahui belakangan ini, musik jazz membeludak. Bukan musik jazznya yang membeludak, melainkan peminatnyalah yang mengalami peningkatan drastis atau membeludak. Musik jazz telah diminati oleh pelbagai kalangan, dibicarakan oleh pelbagai profesi, dan didengarkan atas pelbagai latar situasi.
            Belakangan ini pula kita dapat melihat fenomena jazz yang ditunjukkan melalui konser-konser istimewa –maksud saya, istimewa bila dibandingkan konser-konser musik lainnya- di tempat-tempat yang istimewa pula. Ya, itulah fakta bahwa konser (pertunjukan) musik jazz dikemas secara istimewa: tempat dan situasi. Sebuah musik berkelas.
            Musik jazz ditampilkan di tempat-tempat khusus yang dapat mengidentifikasi pengunjungnya sebagai individu istimewa. Istimewa dalam strata ekonominya dan istimewa dalam menikmati ektetika musiknya. Kafe-kafe nan elegan dan tempat bercitarasa seni yang tinggi biasanya jadi tempat pertunjukan musik jazz. Tiket konser musik jazz bisa mencapai jutaan rupiah. Bahkan, artis-artis bintang tamunya pun istimewa, bukan sembarang pemusik, yang menjadikan pertunjukan lebih istimewa. Di sanalah musik jazz menjadi identitas sosial: ekonomi menengah ke atas dan berestetika tinggi.
            Begitulah musik, pada umumnya seni-budaya, di dalam ruang kapitalisasi. Musik bukan sebagai seni semata, bukan sebagai refleksi sosial semata, bukan sebagai “pesan” komunitas terhadap penguasa semata, tetapi lebih utama ialah sebagai identitas. Penikmat musik dangdut tidak lebih baik ketimbang penikmat musik-musik ‘import’. Penikmat musik etnik tidak lebih baik ketimbang penikmat musik-musik bernuansa Eropa. Penikmat musik religi tidak lebih baik ketimbang penikmat musik-musik rock atau musik cadas. Ada golongannya masing-masing.
            Terlepas dari sisi kualitasnya (content), sesuatu perlawanan dan korban adalah nilai lebih. Sama seperti daya tarik jual di pasaran. Sama halnya musik jazz, yang memulai hidup dari musik perlawanan dan perjuangan para korban. Kuncinya adalah empati. Empati dimunculkan sebagai daya tarik massa terhadap penawaran komoditas. Pola konsumsi-distribusi jazz seperti itu tidak ubahnya bentuk-bentuk budaya lainnya, seperti celana jeans, rantai (pernak-pernaik) celana atau dompet, siaran Termehek-Mehek dan siara-siaran televisi yang mengeksploitasi kemiskinan, dan sebagainya. Sesuatu yang “miskin” itu sangat laku dijual di pasaran, sesuatu yang “menyakitkan” itu sangat laris-manis di pasaran, dan sesuatu yang “menyedihkan” itu sangat diminati pasar. Nilai empati dijual dengan kemasan menarik.
            Pendengar menjadi cenderung mengabaikan isi dan estetikanya. Penikmat hanya mengikuti arus konsumsi massa sebagai identifikasi dirinya. Unsur-unsur, pesan, nilai moral, dan bahkan historinya tidak digubris oleh pendengar.
            Nilai ekonomi membentuk strata sosial. Dengan tawaran musik jazz seperti itulah massa (pendengar musik jazz) pun terbuai oleh ‘rayuan’ seakan-akan “menjadi penikmat musik bercitarasa tinggi” dan berkelas ekonomi menengah ke atas.
Pada kenyataannya, tidak ada kenikmatan bebas yang dirasakan oleh pendengarnya setelah menikmati konser musik jazz, seperti nilai histori yang terkandung di dalam musik jazz itu. Tidak ada muncul wacana-wacana kebebasan maupun wacana-wanaca antirasisme yang dilakukan oleh pendengarnya setelah menikmati konser musik jazz.
            Jadi, industri musik telah mengabaikan banyak maksud dan nilai di balik musik jazz. Musik jazz yang berkonser di kota-kota besar, di tempat-tempat elegan, dan di kafe-kafe hanyalah sebatas ritual pengidentifikasian strata ekonomi diri; konsumsi. Begitulah fakta kebanyakan pendengar musik jazz yang terselenggara –kebanyakan konser jazz di Indonesia disponsori oleh produsen-produsen rokok dengan menargetkan pasar para pemuda- dengan harga tiket yang cukup mahal. Inilah sisi lain dari fenomena membeludaknya konsumsi musik jazz.
            Kalau kita tidak jeli menyiasati serta memahami untuk apa dan bagaimana menikmati musik jazz, maka kita (konsumen konser jazz) hanya menjadi konsumen aktif semata dalam arus industri musik.


Fredy Wansyah

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes