Bahasa Puisi dan Lelaki Rindu*
Sudah takheran lagi kita mendengar terisolirnya bahasa puisi di tengah-tengah bahasa aplikatif masyarakat, terlepas persoalan apa sesungguhnya yang menyebabkan hal klasik seperti itu. Bahasa puisi memiliki perbedaan dari bahasa yang kita gunakan sehari-hari. Bahasa puisi itu sifatnya secondary system (bahasa kedua setelah bahasa sehari-hari, yang kita pahami sebagai linguistik). Oleh karena itulah penyair selayaknya harus melewati fase awal pada pemahaman bahasa yang utama sebelum menjajaki secondary system tersebut.
Efek pengolahan bahasa puisi bagi seorang penyair mampu menghadirkan kepuitisan. Semisal, puisi-puisi Chairil Anwar yang sering menyingkat kata: aku menjadi ‘ku, akan menjadi ‘kan, dsb. Bahkan, seperti pandangan teoretikus, penyair taksemata memakai bahasa tetapi juga mengolah bahasa. Hal yang ditunjukkan oleh Chairil itulah bagian dari pengolahan bahasa, dengan pertimbangan aspek estetika puisi yang ia ciptakan.
Tengoklah salah satu judul puisi Tirena Oktaviani, berjudul Lelaki Rindu. Pada bait pertama, baris ketiga terdapat unsur bunyi yang menarik dan enak didengar (musikalitas): beranjak dari pasir, apalagi pesisir. Tapi sangat disayangkan, aspek bunyi seperti ini minim sekali di dalam puisi Lelaki Rindu. Mungkin penyairnya ingin menyisihkan aspek tersebut demi mengutamakan aspek lainnya, tapi itu juga mungkin.
Kemudian coba kita tengok keseluruhannya, bahwa puisi ini masih cukup jauh untuk mudah dipahami pembaca. Antar barisnya takmenunjukkan adanya keterpaduan yang jelas. Biasanya ketakterpaduan itu terjadi pada puisi-puisi remaja, yang lebih menunjukkan retorik retisense (istilah dari Pradopo, Pengkajian Puisi). Semisal, apa yang membikin sayap resah makin kerap mengepak?//sebab ingatan selalu tak ingin beranjak dari pantai. Secara retoris bentuk tanya itu permulaan dari seluruh puisi, namun diikuti suatu pernyataan yang sama sekali sulit untuk dipahami hubungannya terhadap bentuk tanya tadi. Ditanyai perihal sayap, tetapi entah mengapa pernyataannya justru perihal ingatan. Jika saya memaksakan untuk memahami, secara parafrase dapat saya jadikan: apa yang membikin sayap(ku) resah makin kerap mengepak?//(aku kepakkan) sebab ingatan selalu tak ingin beranjak dari pantai. Subjek (aku) mengandaikan dirinya bersayap, tapi kepakan sayap itu justru mengingatkan suatu persitiwa di pantai. Namun, sangat disayangkan padanan kata “kerap”, yang bersinonim “sering”, berada di antara “makin” dan “mengepak”. Tanpa kata “kerap” pun sudah menunjukkan makna “sering” atau “berkali-kali”: … resah makin mengepak.
Lalu pada baris lain, sebab ingatan selalu menyimpan sunyi saat menghapal rindu//menghapal jalan menuju gegunung hingga air terjun. Ingatan dan sunyi dipadukan. Ingatan tentang kisah di pantai tadi menyiratkan kesunyian. Namun, kata “gegunung” sangat merusak logika bahasa dalam kalimatnya. “Gegunung” itu berarti banyak gunung. Mana mungkin air melewati banyak gunung, kecuali banyak lembah, karena air itu sifatnya mengalir ikuti gaya gravitasi, bukan melawan gravitasi.
Cukup sulit bagi saya memasuki ruang isi, sebab persoalan bentuk yang mengantarkan ke dalam isi tadi saya masih sulit memahami maksud dan tujuan penyairnya. Terlepas dari kesulitan tersebut, saya kira ini adalah pelajaran bagi kita yang ingin menulis puisi. Bahwa puisi taksekadar membuat sesuatu bahasa yang sulit, tetapi lebih mengedepankan bagaimana kita menyajikan keindahan dalam berkomunikasi. Semisal, “aku ingin minum jus itu!” lebih indah bila dikatakan “gelas jus itu ingin dingin bibirku!”.
-Fredy Wansyah
*Puisi Tirena Oktaviani
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.