ARTIKEL PINTASAN

Thursday, December 1, 2011

Wajah Terakhir Perempuan


Wajah Terakhir Perempuan


Cerita Pendek (Cerpen)

Ivan Turgenev pernah menyatakan perihal cerpen bahwa cerpen yang kita lahirkan sekarang tidak lepas dari warna Gogol. Warna Nikolai Gogol itu, yang terkenal dengan jiwa-jiwa matinya, adalah warna jelata. Di dalamnya muncul suara kaum jelata.

Mungkin kita akan bertanya, pakah suara jelata seperti itu merupakan propaganda pada kelompok yang terdiskriminasi? Atau, kita melihat karya itu hanya bingkai hiburan semata? Mungkin juga, karya itu dipandang sebagai pembelajaran hidup? Ketiga bentuk tanya seperti itu bisa saja terjadi, dan sudah riil di masyarakat yang mengagungkan teknologi saat ini, yang menganggap cerpen bukan suatu gejala sosial yang perlu diprioritaskan sebagai pertimbangan hidup.

Sartre menganggap bahwa seni menulis kita sedang “diteror” oleh hiburan dan propaganda. Bila kita gunakan bingkai hiburan dalam memandang cerpen, sama halnya seperti mendengarkan musik-musik pop maupun kabanyakan film-film Hollywood, setelah menikmati kita biarkan begitu saja. Seumpama sandal, cerpen itu kita pakai lalu kita lepas di ambang pintu. Kita tidak pahami lebih jauh kondisi sandal itu lebih jauh serta kita tidak tempatkan di tempat yang aman. Sedangkan mengenai propaganda, sejak era sebelum kemerdekaan Indonesia sastra sudah mendapatkan perhatian dalam membantu peran kemerdekaan. Tujuannya adalah memberikan kesadaran masyarakat. Bagi Sartre, propaganda yang buruk diasosiasikan terhadap suatu politik praktis. Namun, propaganda sesungguhnya kita pandang bagai dua mata koin. Di satu sisi ia menjadi penyokong perubahan sosial, di sisi lain ia bisa berubah menjadi “momok” bagi perubahan sosial itu. Ini artinya, propaganda akan menjadi baik bila berpihak pada kepentingan bersama, khususnya kelompok sosial yang terpinggirkan.

Wajah Terakhir

Takubahnya suara jelata yang bukan hiburan dan bukan propaganda, buku Wajah Terakhir (sekumpulan cerpen Mona Sylviana, 13 judul cerpen) mendapatkan ruang untuk didiskusikan di PSBJ Fakultas Sastra Unpad, pada 21 Oktober 2011. Dua pembicara mengulas dari sudut yang berbeda. Lina Meilinawati mengulas perihal suara-suara perempuan, atau seperti yang dinyatakannya bahwa kumcer ini mewakili suara perempuan. Sedangkan Taufik Hanafi lebih menyoroti teknik narasi, yang kurang memuaskan para peserta diskusi karena tidak menjajaki jauh lebih dalam atas maksud dan tujuan penguraian unsur-unsur narasi, sehingga peserta pun banyak mempertanyakan perihal teknik narasi itu terhadap isi cerita.

Melalui tokoh-tokoh perempuan di dalam cerpen Wajah Terakhir suara perempuan tersebut menunjukkan hal-hal yang tabu. Seperti ungkapan Aquarini dalam diskusi Wajah Terakhir di Bale Rumawat, 8 Oktober 2011, bahwa tema-tema cerpen menujukkan hal-hal yang abjek. Sosok “pahlawan” sering dihadirkan dengan karakter yang aneh, yang tidak lazim, melalui perawakan perempuan. Misalnya seperti pengungkapan vagina perempuan yang dialiri air; air kuning kemerahan mengalir dari vagina.

Subjek narasi di cerpen ingin menyampaikan bahwa tubuh perempuan dan tubuh laki-laki itu berbeda. Perbedaan terlihat dari sosok perempuan yang sering kali menjadi korban atas tubuh laki-laki. Dampaknya pun berakibat pada psikologis perempuan, trauma, dan cara pikir.

Cerita-cerita yang berdampak seperti itu sering kali dilatari atas pergulatan tubuh perempuan. Misal, seperti perkosaan maupun pelecehan seksual. Selain itu, ada pula kisah yang dilatari atas persoalan ekonomi yang solusinya cukup dangkal, yakni menjual tubuh; Ibu juga tahu kenapa saya nolak ajakan Badri, padahal bayaran yang mau dia kasih untuk darah selangkangan pertama saya bisa dipakai bayar sewa sawah setahun.

Pada akhirnya, terlepas dari penyimpulan apakah bentuk cerita ini merupakan feminis atau bukan, perempuan menunjukkan wajah kusutnya sebagai wajah terakhirnya. Wajah yang menunjukkan adanya persoalan mengapa tubuhnya sering “dicederai” tubuh laki-laki. Tidak jauh berbeda seperti itu, akhir kisah (ending) pun menampilkan sosok perempuan yang menyelesaikan masalah dengan wajah murung atau tidak menunjukkan adanya happy ending. Ada pula beberapa cerita yang diselesaikan dengan ending yang gantung.

Saya akhiri tulisan ini dengan simpulan, bahwa cerpen-cerpen seperti ini memang relatif relevan terhadap kondisi sosial kita saat ini. Teknik ceritanya pun (cukup) mengambil sosok narator perempuan dengan menampilkan objek-objek tabu, tidak jauh berbeda dengan cara pelaku politik praktis yang menggunakan sensualitas tubuh untuk mendongkrak suara pemilih, dan tidak jauh berbeda dengan cara pelaku industri lifestyle yang mengeksploitasi tubuh perempuan untuk menarik daya tarik pasar (publik). Lantas, kita layak menempatkan cerita-cerita ini sebagai bahan pertimbangan hidup yang carut-marut dan penuh kemunafikan ini, sebab ceritanya menyampaikan bahwa banyak hal-hal tabu dan sepele dari sosok perempuan tersimpan rapi hingga jarang kita temui karena kepiawaian perempuan menyimpan persoalan-persoalan dirinya sendiri.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes