ARTIKEL PINTASAN

Tuesday, November 30, 2010

Bencana dan Rutinitas Bencana




Bencana dan Rutinitas Bencana

Indonesia yang terletak di bagian lempengan bumi berpotensi bencana. Mulai dari banjir, gempabumi, gunung meletus, tsunami dan longsor.
Tsunami merupakan suatu bentuk bencana alam yang dalam 10 tahun belakangan menggemparkan dunia karena banyaknya korban jiwa. Tsunami terbesar di dunia yang terjadi di Aceh beberapa tahun lalu.
Bencana terjadi atas dua hal, yakni bencana alam dan bencana non-alam. Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh, atau bersumber, manusia atas eksploitasi alam secara besar-besaran.
Banjir merupakan salah satu bentuknya yang sering terjadi di Indonesia. Bahkan di Wasior, beberapa wacana publik menyampaikan bahwa banjir di Wasior terjadi karena perambahan hutan.
Bila bencana seperti ini tidak segera diatasi, kerusakan alam jangka panjang adalah risiko buruk hingga menelan korban yang lebih banyak.
Akibatnya, masyarakat menganggap hal seperti ini merupakan hal biasa yang kurang mendapatkan perhatian serius. Padahal, analisis yang baik terhadap penyebab terjadinya bencana, seperti ini akan mengurangi risiko terburuk dan bahkan jatuhnya korban jiwa.
Dari dua bentuk bencana yang terjadi di Indonesia, bukannya kita tidak mampu menanggulangi bencana demi meminimalisir kerugian materi dan korban jiwa.
Bencana di Indonesia merupakan suatu rutinitas, apalagi bencana banjir atau bencana yang diakibatkan oleh tangan dan pikiran jahil manusia. Bila hal demikian merupakan suatu rutinitas, mengapa negara kita tidak mampu menanggulanginya?
Ada beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan negara. Pertama, penegasan hukum. Kedua, pengetahuan masyarakat terhadap lingkungan. Ketiga, pendidikan. Aspek pertama adalah pertimbangan yang mengacu pada kekuatan hukum bagi pengeksploitasi alam tanpa mempertimbangkan resiko terburuk yang akan dihadapi bersama.
Untuk itulah, payung hukum bagi pelaku tersebut perlu ditegakkan, meskipun pada kenyataannya mekanisme hukum yang selama ini dilakukan sangat retan terhadap penyelewengan hukum. Aspek kedua adalah pengetahuan yang cukup bagi masyarakat yang rawan bencana alam.
Daerah pegunungan, pesisir pantai terhadap kemungkinan tsunami, dan beberapa bentuk bencana alam lainnya perlu diketahui oleh masyarakat yang mendiami daerah tersebut.
Sedangkan aspek ketiga, adalah perbaikan di dalam bidang pendidikan. Pendidikan yang selama ini kita terapkan belum memadai seutuhnya untuk mengetahui alam dan kemungkinan bencana yang bisa saja terjadi akibat manusia itu sendiri maupun alam.
Selain itu, tahapan menghadapi bencana ditegaskan pula oleh negara dan masyarakat. Tahapan tersebut ialah prabencana, proses bencana, dan pascabencana. Ketiga tahapan ini perlu dimotori oleh pemerintah.
Dalam tahapan prabencana, misalnya, dilakukan pemantauan daerah potensi terjadinya bencana dengan berbagai peralatan yang memadai. Analisis kemungkinan bencana dab dampak buruk bencana segera diinformasikan kepada masyarakat di sekitarnya.
Sehingga bila bencana terjadi proses evakuasi tidak mendadak dilakukan. Pada proses bencana tidak ada lagi potensi korban jiwa. Sementara pada tahapan pascabencana, logistik dan kebutuhan pokok korban maupun pengungsi didistribusi sesegera mungkin.
Tahapan pascabencana pun disiagakan oleh pemerintah dengan sebaik mungkin, mulai dari proses distribusi kebutuhan, logistik sandang/pangan yang mencukupi, sampai kebutuhan korban hingga kembali normal.
Bila rutinitas bencana ditangani pula dengan suatu tindakan yang telah dikonsepkan dengan baik, seperti pertimbangan aspek dan tahapan menghadapi bencana yang dirancang oleh pemerintah, korban jiwa dan kerugian materi pun dapat diminimalisir. Maka, sewajarnya rutinitas ditanggulangi pula dengan rutinitas. (*)

-dimuat di Harian Singgalang-

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes