ARTIKEL PINTASAN

Monday, June 21, 2010

Candu




ilustrasi Candu (blogspot)

Candu
Prolog
“Sidang Akhir Tahun”, begitulah tajuk yang diberi pada persidangan akhir masa jabatan kepengurusan lembaga-lembaga di kampus Fakultas Sastra, Unpad. Ini GAMA FASA, sidang pertamanya dilakukan pada hari Sabtu, 19 Juni 2010. Saya datang pukul sebelas lewat ke ruang persidangan, bersama seorang teman saya yang bernama Wahid Ibrahim, sementara persidangan sudah dimulai sejak pukul sembilan pagi, artinya kami berdua telah terlambat. Apa yang terjadi ketika kami memasuki ruangan dari pintu belakang? Ternyata ada seorang, entah panitia pelaksana atau bukan, menutup pintu ketika kami ingin masuk. Lalu seorang panitia berpesan melalui jendelan, “Kang, lewat pintu depan.” Akhirnya saya dan Wahid tidak jadi masuk, hanya menunggu waktu istirahat tiba hingga masuk sesi ke dua setelah istirahat selesai. Usai istirahat, saya dan Wahid tidak hanya berdua lagi melainkan berlima, ada Deni, Ijul (itu loh yang sering dibilang Ijul Sharaf atau Zul Tnuk), dan Yoga. Dan, akhirnya kami berempat masuk melalui pintu depan setelah istirahat siang, pukul dua belas lewat, maka resmilah kami menjadi peserta Sidang Akhir Tahun (2010), GAMA FASA Unpad.

Hari kedua, Minggu 20 Juni 2010, saya kembali hadir bersama Wahid Ibrahim. Pada hari kedua saya tidak berlama-lama menjadi peserta sidang. Saya meninggalkan persidangan yang menyerupai kontruksi persidangan sistem pemerintahan sekarang, jadi seolah-olah sistem pemerintah saat ini adalah yang terbaik dan paling benar, karena suasananya seperti itulah saya terpaksa meninggalkan ruang persidangan. Untuk menghormati jalannya persidangan, saya mengacungkan tangan dan berkata kepada presidum 1, “Maaf presidium, karena AD/ART saja sudah ngawur (tidak sesuai dengan kenyataan) izinkan saya keluar dari sini.”
(Maaf sebelumnya bagi orang-orang yang punya kepentingan citra dirinya atau citra-politis pribadi demi masa depan karir, ini hanya wacana aneh di dalam sistem yang saya alami saja. Saya tahu mungkin orang-orang yang punya kepentingan –supaya bisa duduk di tempat yang terhormat ketika acara-acara besar di Fakultas Sastra, Unpad- tidak menyukai komentar ini karena merusak citra mereka, atau mungkin tidak akan ada lagi jalur yang mulus untuk suatu kelompok organisasi menduduki kekuasaan BEM. Sungguh, bukan itu esensi pembicaraan ini melainkan kepentingan bersama dalam kemahasiswaan Fakultas Sastra Unpad).


Inti Pembahasan
Dalam sejarah keorganisasian mahasiswa, BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) merupakan wujud keorganisasian mahasiswa setelah runtuhnya DEMA (Dewan Mahasiswa). NKK/BKK diberlakukan untuk meminimalisir gerakan-gerakan progresif mahasiswa pada tahun ‘70an. Setelah adanya peristiwa MALARI, pun bertepatan PEMILU tahun ’77, dibentuklah NKK/BKK yang bertujuan menetralisir gerakan-gerakan mahasiswa pembangkang. Setelah wacana-wacana itulah maka muncul suatu bentuk kelompok/organisasi bernama “BEM” di Indonesia.

Tipe konstruk atau mekanisme kegiatan para anggotanya sangat mirip dengan sistem pemerintahan. Hal ini mengindikasikan bahwa BEM dibentuk demi menyiapkan kepribadian mahasiswa dalam menjalankan sistem pemerintahan yang telah ada. Sebab pada dasarnya BEM adalah orang-orang eksekutif dalam kemahasiswaan pada suatu ruang lingkup kelompok mahasiswa, yang di sisi lain terdapat badan legislatif mahasiswa (BPM) dengan tujuan mengawasi kerja-kerja badan eksekutif. Sebenarnya dari sistem ini terdapat konsekuensi logis pada diri mahasiswa, bila dilihat kepribadian mahasiswa masih labil dalam mengontrol emosi, yakni perpecahan antar kelompok mahasiswa.

Tahun 2004 BEM GAMA FASA dibentuk sesuai kesepakatan mahasiswa Fakultas Sastra. Sebelum adanya BEM, mahasiswa Fakultas Sastra memiliki sistem jalur koordinasi yang sangat kolektif. Sistem yang kolektif ini diberi nama FORKOM (Forum Komunikasi). Anggotanya terdiri atas beberapa utusan mahasiswa setiap HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan). Namun, entah motif apa FORKOM ini dibubarkan kemudian terbentuklah BEM GAMA FASA.

Sesuai dengan konstitusinya, BEM adalah suatu keorganisasian mahasiswa yang proaktif, kritis, ilmiah, dan apresiatif. Bahkan bila disesuaikan dengan konteks, usahanya (lihat Anggaran Dasar Bab V, BEM GAMA FASA, Unpad) akan selalu berprilaku sesuai khaidah kesusastraan maupun kebudayaan, apalagi terdapat sistem demokratis di dalamnya.

Mengingat hal-hal di atas dan disesuaikan (maaf, saya sebisa mungkin akan mnggunakan bahasa yang mudah dipahami. Karena bisa saja kata “disesuaikan diganti dengan kata “sinkronisasi”, harap maklum saya bukan orang-orang yang ingin dianggap banyak membaca buku dengan melontarkan banyak bahasa-bahasa “aneh” atau susah dipahami oleh umum/publik) dengan Sidang Akhir Tahun GAMA FASA, ada beberapa penilaian: Pertama, BEM atau BPM hanya memecahbelah hubungan antar lembaga mahasiswa. Kedua, BEM tidak lagi potensial dalam mengembangkan aspirasi mahasiswa sebagai wujud yang apresiatif, solutif, kritis, maupun responsif atas fakta-fakta sosial. Ketiga, GAMA FASA bukanlah dimotori oleh BEM semata, melainkan banyak lembaga. Keempat, GAMA FASA adalah sekumpulan mahasiswa yang berada di penjurusan kesastraan (termasuk ilmu sejarah).

Pertama, BEM atau BPM hanya memecahbelah hubungan antar lembaga mahasiswa. Konstruk saat sidang, pengawasan yang menjadi suatu persaiangan BEM-BPM, ketidakselarasan BEM-HMJ, adalah bentuk-bentuk indikasi pemecahbelahan tersebut. Dari sudut pandang perkelompokan, BEM dan BPM selalu didominasi oleh orang-orang yang sepaham/sepandangan.

Kedua, BEM tidak lagi potensial dalam mengembangkan aspirasi mahasiswa sebagai wujud yang apresiatif, solutif, kritis, maupun responsif atas fakta-fakta sosial. Dahulu, dalam sejarah keorganisasian mahasiswa di Indonesia Boedi Oetomo (1908) menjadi tonggak wadah perpolitikan mahasiswa (terlepas dari kontroversi pengklaiman) atas terjadinya kolonialisasi terhadap masyarakat di Indonesia, hingga kelompok ini berperan aktif berpolitik sebagai perjuangan kelompok terpelajar terhadap kondisi masyarakatnya. Lalu masih adakah jejak yang responsif tersebut atas kondisi masyarakat yang sedang mengalami berbagai permasalahan di berbagai aspek kehidupan? (Jadi ingat wacana di buku Sekolah Itu Candu, bahwa sekolah-sekolah kita hanya menciptakan birokrat-birokrat baru tanpa menelusuri secara mendasar berbagai permasalahan masyarakat). Pun sama halnya mengenai apresiasi mahasiswa, setahun belakangan wadah-wadah apresiasi hanya terlahir atas kreatifitas mahasiswa tanpa dinaungi oleh BEM itu sendiri sebagai wadah yang majemuk.

Ketiga, GAMA FASA bukanlah dimotori oleh BEM semata, melainkan banyak lembaga. Lebih spesifik lagi, motor GAMA FASA adalah diri mahasiswa itu sendiri (di AD/ART adalah mahasiswa S1 Fak. Sastra, Unpad).

Keempat, GAMA FASA adalah sekumpulan mahasiswa yang berada di penjurusan kesastraan (termasuk ilmu sejarah). Nah…ini dia yang sangat konyol di persidangan kemarin, ketika itu saya mempertanyakan keberadaan suatu poin dalam suatu bab tentang korelasi sastra dengan kewirausahaan (berasal dari kata wira=pahlawan, dan usaha=suatu kegiatan yang mengeluarkan tenaga untuk mencapai tujuan. Namun, konotasi umum kini menjadi: wirausaha=semacam managemen bisnis). Ada yang menjawab, bahwa perpuisian bisa diterapkan sedemianrupa agar memiliki nilai jual. Ada pula yang mengacu sesuai sistemik. Secara teoritis –lebih berterima dalam konteks akademisi- Sastra, menurut A. Teeuw, dalam bahasa Indonesia, “sastra” berasal dari bahasa Sansekerta, sastra; sas berarti “mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi.” Akhiran –tra biasanya berarti alat atau sarana. Jadi, sastra diartikan sebagai “alat mengajar, buku petunjuk, atau buku pengajaran.” Unsur-unsur sastra tidak memiliki satu pun unsur yang mengacu pada nilai jual. Di dalam karya sastra terdapat nilai-nilai intelektualitas, emosi, dan imajinasi. Perhitungan nilai jual dalam suatu karya sastra hanya akan menimbulkan degradasi nilai estetik.


Kesimpulan
Nah, kesimpulannya adalah lebih baik bentuk saja wadah semacam serikat mahasiswa, bukan BEM yang hanya menjadi ruang politis pribadi demi masa depan yang cerah di sistem pemerintahan. Ganti saja seperti Forkom dulu, atau Senat, atau seperti kata usul teman saya yang mengususlkan namanya SEMAUN (Serikat Mahasiswa Sastra, Unpad).
Oh iya, ada pula tradisi turun-temurun mengenai penilaian BEM oleh BPM loh. Standarisasinya entah dari mana. Pun kalau ada penilaian mengapa tidak dinilai sesuai keberhubungan dengan AD/ART? Kok malah ada muncul di kongres adalah hasil survei yang dilakukan BPM atas keterkenalan ketua BEM?

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes