ARTIKEL PINTASAN

Saturday, September 20, 2008

Membaca Potensi Sastra di Jatinangor, Dalam 50 Tahun Sastra Unpad


Mahasiswa baru hampir menyelesaikan prosesi penerimaan mahasiswa baru atau yang lebih sering dikenal dengan Mabim (Masa Bimbingan). Mahasiswa baru tersebut banyak disuguhi sajian-sajian yang menyangkut jurusan masing-masing. Seperti jurusan sastra Indonesia, pesertanya disuguhi dengan sajian-sajian kesusastraan dan susastra Indonesia. Suatu hal yang sangat ironis telah terjadi, sajian mengikat, terpublikasikan atau memang sengaja dipublikasikan melalui media pada saat masa bimbingan mahasiswa baru. Sebuah sajian yang menggiring mahasiswa menjadi tidak bebas berpikir.
Sajian yang dimaksud adalah sajian yang telah diutarakan oleh seorang Dekan Fak. Sastra. Beliau mengutarakan di sebuah media masa, bahwa sebuah pendidikan seperti transaksi jual-beli. Artinya suatu institusi pendidikan berprilaku seperti pedagang di pasar dan mahasiswa merupakan pembeli. Dalam logika pasar, harga akan semakin meningkat jika permintaan juga meningkat. Secara kontekstual, institusi pendidikan menaikkan harga karena permintaan pekerja dari pasar meningkat. Dari hal tersebutlah mengakibatkan pemikiran mahasiswa terikat, bahwa mahasiswa calon sastrawan tidak akan hidup bebas, dan bahkan harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar.
Secara tidak langsung, Fakultas Sastra Unpad yang berada di kawasan pendidikan Jatinangor telah menjadi pabrik pencetak ‘robot’. Begitu pula halnya dengan diri saya. Logikanya, dosen berada pada posisi buruh, manusia yang menghasilkan produk, kemudian hasil tersebut akan dilemparkan ke pasar.
Alasan utama Fakultas sastra Unpad mengubah nama menjadi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) sebenarnya adalah mengikuti jejak Universitas lainnya, yakni UGM (Universitas Gajah Mada) dan UI (Universitas Indonesia). Perubahan ini seperti ada makna yang tersimpan di dalamnya, namun pihak yang terkait belum ingin mengeksplor. Dasaranya adalah perubahan nama dari UGM dan UI tersebut. Keduanya merubah status sastra menjadi FIB seiring perubahan status hukum dari institusi tersebut. Apakah hal ini juga yang sebenarnya menjadi landasan perubahan nama Fakultas Sastra Unpad menjadi Fakultas Ilmu Budaya Unpad?

Sastra yang terhegemoni
Sastra Indonesia seakan tidak memiliki ‘plang’ khusus di dunia. Seperti yang kita ketahui, dalam ketatnya persaingan pasar buku, sampai saat ini belum ada beredarnya buku teori sastra Indonesia. Seperti sosok ‘mahluk’ yang tidak memiliki wajah. Ironisnya, kesusastraan Indonesia seperti teralienasi dengan keadaan.
Hal ini dapat dilihat dengan indikasi yang ada. Buku-buku teori sastra yang beredar merupakan buku-buku teori sastra terjemahan. Misalnya, Theory of Literature (1949), Rene Wellek, yang diterjemahkan oleh Melani Budianta menjadi Teori Sastra, dan A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory (1985), Raman Selden, yang diterjemahkan oleh Rahmat Djoko Pradopo menjadi Pnaduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini (1991). Bahkan buku A Teeuw merupakan salah satu acuan para akademisi sastra dalam pemenuhan kebutuhan akademiknya. Membaca teori sastra dapat dikaitkan dengan dua bidang ilmu lainnya, sejarah sastra dan kritik sastra. Padahal, perkuliahan teori sastra merupakan suatu yang fundamental dalam akademik kesusastraan dan sastra.
Beredarnya buku-buku teori sastra barat membuat hegemoni pasar yang berdampak pada hegemoni pemikiran sastra Indonesia dari sastra barat. Bahkan menurut Arif Budiman, sastrawan Indonesia menulis hanya untuk ‘audience yang ada di barat’.
Kota kecil yang kerap menjadi isu perebutan anata Pemda Bandung dengan Pemda Sumedang, Jatinangor, pun tidak jauh realita dengan apa yang telah diungkap di atas. Di toko-toko buku kawasan pendidikan tersebut dihegemoni oleh sastra barat. Dan, Fakultas Sastra mencoba rancangan menimbulkan atau mematahkan hegemoni tersebut.
Namun, dengan perubahan nama dan kurikulum sastra menjadi ilmu budaya akan mengikis potensi-potensi bersastra. Seperti apa yang telah diutarakan oleh M Irfan Hidayatullah, seorang dosen sastra Indonesia, bahwa komunitas sastra di kampus mulai muncul lagi tetapi pelan-pelan menghilang, hal ini disebabkan minimnya jaringan penggiat komunitas tersebut dengan media. Realitanya benar, komunitas sastra mulai muncul di kampus sastra Jatinangor. Mungkin satu-satunya komunitas tersebut adalah Komunitas Sastra Langkah. Sebuah komunitas yang berada dalam hegemoni dan mencoba menjaga eksistensi dari hegemoni barat tersebut.
Hal perubahan nama dan kurikulum Fakultas Sastra tersebut seakan mematikan bibit-bitit yang mulai tumbuh. Ketika masyarakatnya, dalam hal ini adalah mahasiswa sastra, mulai mengkhawatirkan keberadaan identitas local dan keberadaan sastra local, institusi yang seharusnya memberikan fasilitas seolah tidak peduli. Ironis memang, seorang dosen sastra Indonesia yang mengetahui keberadaan sastra Indonesia serta identitas local yang terhimpit dari hegemoni seolah melakukan destruktif. Bukankah seharusnya yang dilakukan adalah memberikan atau menawarkan jaringan-jaringan ke media yang telah dimilikinya kepada sebuah komunitas tersebut?
Suatu argumen yang sedikit tidak logis, disaat keadaan kontekstual membutuhkan pemikir local dalam bidang sastra tetapi disambut dengan reaksi pragmatis. Keadaan harus mengikuti pasar. Pada momen 50 tahun emas inilah institusi mencoba bereksperimen. Eksperimental yang tanpa persiapan. Baik persiapan dari internal maupun eksternal. Faktanya, mahasiswa sastra yang ada dalam keluarga Fakultas Sastra masih banyak yang belum mengetahui rencana perubahan nama dan kurikulum tersebut. Bahkan secara materil pun keadaan belum dapat menerima atau berperan dalam ‘metaformosis’ sastra menuju ilmu budaya. Alat-alat penunjang sebagai praktikum belum ada terlihat sama sekali yang berkaitan dengan ilmu-ilmu budaya atau terapannya.
Realitanya, dalam waktu dua tahun kebelakang, masyarakat sastra Fakultas Sastra Unpad tidak ada satu pun yang mencoba mendistribusikan karya-karya sastranya ke pasar. Lalu sampai sejauh apa efektifitas prospek perubahan nama dan kurikulum tersebut? Dengan perubahan tersebut pula usia Fakultas Sastra ditutup. Usia yang belum mampu berkontribusi dalam pengembangan identitas local.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes