ARTIKEL PINTASAN

Saturday, September 20, 2008

Ironis, PestaPhoria Elektoral 2009




Banyak yang mengatakan bahwa tahun 2009 merupakan sebuah pesta demokrasi. Sebuah pesta biasanya mengandung makna ‘setelah’. Artinya, pesta dilakukan setelah sebuah kemenangan terjadi. Dalam perspektif material, pesta merupakan suatu proses hedonisme. Tidak ada sebuah pesta yang tidak menghamburkan material. Dalam hal berpesta ada objek yang menjadi sumber pendanaan dan didanai. Misalnya saja sebuah pesta pernikahan, pesta didanai oleh kedua mempelai (pengundang) dan yang didanai adalah pengunjung (yang diundang).
Secara kuantitas, pesta dilakukan oleh beberapa orang yang termasuk dalam suatu kelompok. Tidak ada sebuah pesta yang dilakukan secara umum. Maksudnya, dalam sebuah pesta biasanya orang-orang yang diundang adalah orang-orang pilihan atau orang-orang yang dikenal. Pengada pesta melakukan pembatansan yang diundang untuk mencegah hadirnya orang-orang pengacau (broker). Maka, demi kelancaran prosesi pesta dilakukanlah pembatasan orang-orang yang diundang.
Hal diatas tersebut dapat diaplikasikan dalam momen electoral 2009. Masyarakat umum mengatakan bahwa tahun 2009 merupakan pesta demokrasi, pesta politik, atau pesta parpol. Penyebutan sebuah pesta, dalam hal ini mengacu pada uraian di atas, seperti sebuah proses yang tidak pantas diadakan. Kalau melihat keadaan Indonesia saat ini seperti melihat kehidupan tanpa demokrasi. Bahkan, sangat ironis jika negara ini melakukan sebuah pesta di atas penderitaan rakyatnya. Sekelompok orang melakukan kegiatan yang mengeluarkan dana yang cukup besar sementara rakyat Indonesia harus mengenyam penderitaan gizi buruk. Sebuah media masa di Lampung mengungkap gizi buruk di Indonesia mencapai 5,1 juta jiwa bahkan 2,6 juta jiwa diantaranya terancam kematian akibat gizi buruk yang diderita.
Ada dua hal ironisme electoral 2009.
• Penghamburan dana di atas penderitaan masyarakat.
• Pemakaian kata ‘pesta demokrasi’.

Pertama, penghamburan dana tersebut dapat dilihat dari penggunaan dana untuk electoral 2009. UU Nomor 45 tahun 2007 tentang APBN 2008 menyatakan besaran pengalokasian dana penyelenggaraan pemilu 2009 sebesar Rp6,67 triliun. Dalam UU tersebut juga menyatakan besaran dana operasional KPU sebesar Rp793,9 triliun. Bahkan dana pemilu 2009 mengalami pembengkakan sebesar Rp225 miliar, hal ini diungkap oleh salah seorang anggota KPU, Abdul Aziz. Pembengkakan dilakukan karena kanaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak). Hal ini dilakukan karena operasional pengadaan pemilu menggunakan transportasi sehingga pembengkakan tidak dapat dihindarkan. Anggota KPU tersebut menyatakan pembengkakan masih dalam hitungan kasar, namun hasil perkiraan tersebut tidak akan melampaui batas. Padahal, jika kenaikan BBM menjadi alasan utama pembengkakan, bukan hal yang tidak mungkin jika harga minyak mentah dunia melambung tinggi beraplikasikan kenaikan BBM kembali. Lalu, akankah perkiraan pembengkakan tersebut tidak akan terlampui?
Bayangkan saja, dengan dana sebesar itu pemerintah mengatakan Indonesia mengalami devisit sehingga tidak bisa terlepas dari kenaikan BBM. Semua intasi-intasi pemerintahan pun membuat dalih utama untuk menaikkan harga-harga karena kenaikan BBM. Misalnya, sebuah Univeritas negeri di Bandung menaikkan biaya SPP sebesar 200% lebih, semula Rp600 menjadi Rp2 juta.
Sangat mungkin penderita gizi buruk dapat ditekan jika dana pemilu 2009 tersebut dari ketetapan pemerintah pada UU Nomor 45 tahun 2007 dialokasikan sekitar 30%. Lalu ditambah dengan dana sekitar 10% dana pembengkakan pemilu 2009. Artinya, ada dana sekitar Rp2 triliun lebih untuk penderita gizi buruk di Indonesia. Dengan dana sebesar itu, penderita gizi buruk juga akan diminimalisir dari yang terancam kematian. Namun, seakan pemerintah tidak mengintensifkan pemecahan permasalahan gizi buruk tersebut. Lalu bagaimana untuk pengentasan kemiskinan di Indonesia?
Padahal, jika merujuk pada harga minyak mentah dunia seharusnya dana pemilu 2009 mengalami penurunan drastis. Kalau relevansi harga-harga dari berbagai perspektif naik karena kenaikan harga minyak mentah dunia, maka harga-harga tersebut juga mengalami penurunan saat minyak mentah mengalami penurunan. Begitu pula dengan biaya operasional pemilu 2009, karena lebih efektif dana pembengkakan tersebut dialokasikan untuk menekan laju kemiskinan di Indonesia.

Ke dua, pemakaian kata ‘pesta demokrasi’ untuk electoral 2009 mengalami absurditas makna. Pertanyaan utama dari kata tersebut adalah, pesta karena apa? Seperti ada tujuan tertentu dalam pemakaian kata tersebut. Dalam uraiaan di atas, pesta dilakukan setelah mendapati hasil. Lalu, atas kemenangan apakah ‘pesta demokrasi’?
Banyak orang menggunakan kata ‘pesta demokrasi’ tidak mengetahui makna sesungguhnya. Namun, argumentasi pemakai kata ‘pesta demokrasi’ lebih menekankan pada kemenangan Indonesia atas berdirinya sistem demokrasi. Lihat realita yang ada, pemerintah dengan rakyat melakukan kebijakan-kebijkan negara tidak berdasarkan keinginan rakyat dan tidak ada titik relevansi dari keadaan rakyat. Seperti kebijakan kenaikan BBM beberapa waktu lalu, pemerintah melakukan kebijikan tersebut hanya sepihak. Padahal, ada dua sector yang fundamen dalam demokrasi, yakni pemerintah dan rakyat. Misalnya, dalam pemakian yang tepat adalah pesta miras (minuman keras). Orang-orang dalam kelompok yang melakukan pesta miras tersebut telah mendapati barang-barang yang mereka inginkan, yakni miras. Tanpa adanya miras, kelompok tersebut tidak akan melakukan sebuah prosesi pesta. Dalam pesta tersebut pun tidak tersistematis dan tidak formil. Karena memang jelas barang utama kemenangan mereka adalah barang yang illegal.
Dalam pemakaian kata ‘pesta demokrasi’ seharusnya diwaspadai. Apakah ‘pesta demokrasi’ di Indonesia yang akan datang pada tahun 2009 telah mendapati kemenangan oleh sekelompok orang? Hal ini mungkin saja, melihat Indonesia saat ini seperti melihat negara ‘ketiga’ yang ketergantungan dari suatu negara. Artinya, ada suatu negara yang mendapati kemenangannya dari Indonesia. Dalam hal ini, pemakaian kata ‘pesta demokrasi’ memang tepat jika rujukan tersebut benar adanya. Indikasinya, seorang artis terkenal di dunia ini mendapati sebuah kursi gubernur, Arnold S. Aktor Hollywood tersebut mengambil jalan politik sebagai langkah karir pasca actor. Dan, dapat dilihat hal serupa di Indonesia. Seperti keberhasilan Rano Karno di Banten, dan Dede Yusuf di Jawa barat. Maka jelaslah, bahwa demokrasi di Indonesia adalah demokrasi yang mengadopsi demokrasi Amerika. Dapat diimplisitkan, Indonesia saat ini merupakan negara adopsian. Hal tersebut menimbulkan sebuah pertanyaan, siapakah yang mengadopsi system negara Indonesia dari system negara Amerika?
Pemberian kata’pesta demokrasi’ untuk electoral 2009 juga belum menemukan poin substansi demokrasi. Masih banyak ketimpangan kebijakan pemerintah yang sepihak. Tidak hanya pada demokrasi menjadi permasalahan utama, kata ‘pest’ pun kurang pantas penggunaannya dalam realita yang ada di negeri ini. Sekelompok orang melakukan pesta phoria dengan dana yang tidak sedikit di atas penderitaan sekelompok orang yang dikategorikan miskin. Tidak sedit pula rakyat yang terjerumus dalam penggunaan kata tersebut demi mencukupi kebutuhan ekonominya. Sebuah pesta yang dinanti-nantikan oleh sebagian rakyat demi mendapatkan keuntungan jangka pendek. Karena dengan kampanye partai-partai sekelompok orang tersebut akan mendapatkan keuntungan atau ‘ketiban untung’.
Jika pemakaian kata ini terus terjadi, seharusnya ada data valid dari pertanyaan ‘siapakah yang mendapati kemenangan?’

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes