ARTIKEL PINTASAN

Friday, August 22, 2008

REVITALISASI KEMERDEKAAN


Tidak lama lagi, bahkan hanya menghitung hari, negara ini akan merayakan kemerdekaan. Di desa-desa telah mempersiapkan pernak-pernik perayaan, seperti umbul-umbul, bendera, dan serba-serbi berwarna merah putih. Enam puluh tiga tahun yang lalu, Indonesia mendeklamasikan pembebasan dari penjajahan. Tetapi, benarkah saat ini kita merdeka seperti enam puluh tiga tahun yang lalu?
Kemerdekaan adalah ketiadaan belenggu atau tindakan represifitas dari berbagai sector. Karena itu, negara ini atas proklamator yang kita kenal, Soekarno-Hatta, mendeklamasikan kemerdekaan melalui radio-radio. Sejak pendeklamasian tersebut, imperialisme di Indonesia terkendalikan. Pada zaman penjajahan Jepang dan Belanda, represif tidak terlihat hanya secara kasat mata melainkan represifitas ekonomi. Meskipun banyaknya rakyat Indonesia yang mati sia-sia, namun hal tersebut bukanlah sesuatu reaksi tanpa sebab. Bila di timbulkan kausalitas, sebab utama dampak kematian rakyat adalah perlawanan. Dan, perlawan ditimbulkan akibat pemaksaan. Zaman penjajahan Belanda dan Jepang secara eksplisit menggunakan tenaga rakyat Indonesia untuk mendapatkan keuntungan dan kelancaran ekonomi negara mereka, dengan menggunakan sistem yang disebut Romusha dan Rodi.
Pada intinya, sistem yang disebut romusha dan rodi adalah sistem kerja penghisapan. Rakyat dipaksa bekerja tanpa aturan demokrasi dan bersifat otoriter. Keringat-keringat rakyat didampingi dengan tindakan-tindakan kekerasan, seperti pencambukan dan sebagainya. Hal inilah yang menjadikan perlawanan rakyat pada masa itu.
Memandang realita, sepertinya negara ini mengulang sejarah. Artinya, tindakan-tindakan represif masih terlihat secara jelas dimana-mana. Contohnya, tindakan represif terhadap mahasiswa Unas beberapa waktu lalu. Sebenarnya, mahasiswa Unas tersebut melakukan tindakan ‘aksi’ dikarenakan sikap pemerintah yang semi-otoriter. Sikap yang mengambil kebijakan menaikkan harga BBM secara sepihak tersebut jelas menyengsarakan rakyat, padahal rakyat Indonesia belum sanggup menghadapi kebijakan pemerintah tersebut. Dan, tindakan-tindakan represif lainnya yang tidak terekspose oleh media masih banyak, khususnya yang dilakukan oleh aparat negara.
Hal pokok perlawanan rakyat pramerdeka adalah kesejahteraan. Maka, hal sebagai tujuan dari kemerdekaan yang sesungguhnya sangat jauh dari keadaan saat ini. Hal ini terbukti dengan semakin banyaknya rakyat yang miskin setiap tahunnya. Statistic terakhir yang ada di media mengenai angka kemiskinan mencapai 37 juta orang. Namun, sangat ironis lagi jika tolak ukur kemiskinan berdasarkan tetapan Word Bank mencapai 63 juta orang. Word Bank memberikan standart miskin berdasarkan penghasilan, yakni lebih kecil dari US$2 perhari. Hal lain dari kemiskinan dapat terlihat dari gizi buruk yang dialami bayi-bayi di Tangerang, sebanyak 49 bayi berdasarkan temuan petugas puskesmas Mauk.
Kompleksitas dari kemiskinan yang berimplikasi pada kesehatan di Indonesia mengindikasikan bahwa negara ini mengalami hal yang sama pada pra kemerdekaan. Hanya saja, pada saat itu imperialisme dapat terlihat secara eksplisit dan gamblang. Musuh-musuh jelas terlihat, dan pada saat tersebut pula musuh tidak berasal dari ras yang sama. Berbeda dengan keadaan saat ini, pemerintah pun ikut memberikan represif kepada rakyatnya. Sehingga yang terjadi missing enemy.
Seperti ironisme negara ini. Di saat rakyat membutuhkan kesejahteraan yang tidak absurd, masih saja sebagian orang berhedon ria. Tepat pada tanggal 17 Agustus, seperti budaya pragmatis, sebagian masyarakat Indonesia menghambur-hamburkan uang. Salah satunya adalah perlombaan panjat pinang. Secara ekonomis, penjat pinang dengan tawaran-tawaran hadiah merupakan sesuatu yang melupakan realitas masyarakatnya. Dengan acara tersebut masyarakat akan terlupa atas himpitan-himpitan kehidupan. Lalu, apakah seperti itu esensi kemerdekaan Indonesia?
Jika membaca sejarah, salah satu tokoh proklamator kita, yakni Bung Hatta, adalah orang yang berani menentang kebijakan-kebijakan dari luar. Artinya, tinjauan Bung Hatta lebih memprioritaskan kemakmuran rakyat. Hatta yang melakukan studi di Belanda pada tahun 1921, masuk dalam sebuah organisasi pemuda Indonesia yang bernama Indische Vereniging, namun setahun kemudian nama tersebut berubah menjadi Perhimpunan Indonesia. Bung Hatta mulai menyuarakan gagasan-gagasannya, salah satunya adalah penolakan kerja sama Perhimpunan Indonesia dengan pemerintah Belanda.
Selain hal tersebut, sejarah kemerdekaan di Indonesia tidak terlepas dari peran pemuda. Konflik kaum pemuda dengan kaum tua yang terjadi pasca pemboman Hirosima dan Nagasaki, membuat Soekarno dan Hatta menjadi korban penculikan oleh kaum pemuda. Hal tersebut disebabkan, desakan-desakan oleh kaum muda diabaikan sehingga langkah utama yang diambil oleh kaum pemuda adalah penyanderaan Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Dalam kenyataan saat ini, masyarakat telah direkonstruksi bahwa perayaan kemerdekaan bukanlah menggunakan refleksi yang meninjau esensi kemerdekaan. Hal ini dapata kita lihat pada perayaan-perayaan kemerdekaan Indonesia pada tahun sebelum-sebelumnya. Tiap-tiap desa melakukan perayaan dengan berbagai lomba disertai hadiah-hadiah yang tidak seberapa nilainya. Masyarakat lebih mengutamakan iming-iming hadiah dari pada harus mencari nilai esensi serta sinkronisasi realita yang ada. Bahkan, metode perjuangan-perjuangan perjuangan dua tokoh proklamator pun seolah diabaikan. Lebih ironis lagi, saat ini peran pemuda dalam pencapaian titik kemerdekaan yang sesungguhnya belum menemukan peran yang significan. Saat ini, kaum tualah yang menghegemoni negara Indonesia, tanpa ada peran dan pertimbangan dari kaum pemuda. Dan, peran-peran negara pun tidak berani mengambil sikap penolakan kerja sama terhadap negara-negara luar yang lebih menguntungkan negara luar tersebut.
Esensinya, negara merdeka adalah negara yang di dalamnya terdapat kesejahteraan rakyat secara menyeluruh dan tidak menjadi negara sasaran komoditi atau pun negara sumber pengerukan alam. Berlandaskan hal tersebut, dalam sejarah kita membuktikan bahwa penjajah masuk ke dalam kawasan Indonesia hanya mengutamakan kekayaan alam yang tersedia di Indonesia. Lalu, apa bedanya dengan keadaan Indonesia saat ini? Sekitar 80% migas di Indonesia telah dikuasai oleh pihak asing, dan kekayaan alam lainnya juga telah didominasi oleh pihak asing. Contoh lain, pada tahun 2002 tanah di daerah Sumatera Utara di dominasi oleh masyarakat Indonesia, namun pada tahun 2006 pihak-pihak asing mulai menguasai tanah tersebut. Bahkan, pihak asing tersebut memprioritaskan pembangunan perkebunan sawit beserta pabrik.
Hak-hak sebagai warga negara Indonesia pada moment kemerdekaan yang ke 63 telah terabaikan. Hak untuk hidup, hak untuk sejahtera, dan hak untuk berpendidikan. Seperti yang telah diungkapkan hak atas tanah pun telah terabaikan. Dimana seharusnya peran pemerintahlah yang memblokade gerak-gerak pihak asing untuk penguasaan tanah. Jika seperti ini, negara Indonesia belum mencapai titik kemerdekaan sesuai esensi kemerdekaan. Maka, mari kita bersama-sama merefleksikan dan mencapai esensi nilai kemerdekaan yang sesungguhnya dengan meminimalkan tindakan-tindakan hedon.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes