ARTIKEL PINTASAN

Friday, August 22, 2008

Efektifitas dan Ambiguitas Hukuman Mati Koruptor


Perdebatan hukuman mati di Indonesia bahkan di dunia hingga saat ini belum menemukan titik cerah. Landasan-landasan dari kedua kubu yang pro dan kontra terhadap hukuman mati sebenarnya menggunakan perspektif yang berbeda. Misalnya, dari kubu yang pro berlandaskan pada perspektif psikologis, dan dari kubu yang kontra berlandaskan perspektif kemanusiawian.
Perdebatan juga mencakup pembahasan mengenai sisi efektifitas. Bagi kubu yang pro berpendapat bahwa hukuman mati akan membuat efek jera. Lalu, pernyataan tersebut menimbulkan pertanyaan ‘Jera kepada siapa?’. Jika melihat efek jera bagi pelaku, jelas pernyataan tersebut salah kaprah, karena pelaku telah mati. Namun, efek jera yang dimaksudkan tidak hanya dari perspektif pelaku, tetapi efek jera bagi calon pelaku. Sesungguhnya, dalam sudut pandang bahasa, efek jera merupakan perbuatan seseorang yang tidak mengulangi perbuatan sebelumnya. Jadi, sangat tidak tepat jika efek jera yang dimaksudkan adalah calon pelaku. Berbeda dengan kubu pro, kubu kontra menegaskan bahwa manusia hidup atas Tuhan, maka tidak tepat hukuman mati diadakan oleh dan untuk manusia. Indikasi perdebatan hukuman mati terlihat dari berlakunya hukuman mati di tiap-tiap negara yang ada di dunia. Hingga Juni 2006, sebanyak 68 negara masih menerapkan hukuman mati, diantaranya adalah Indonesia.
Dalam sebuah kasus, yakni korupsi, secara legalitas Indonesia telah sah mengakui hukuman mati bagi pelakunya, namun masih dengan ketentuan-ketentuan. Seperti kasus yang pernah diramaikan di berbagai media, sebanyak 52 anggota DPR komisi IX menerima dana dari Bank Indonesia (BI) dengan total Rp.21,6 miliar. Jika dibenturkan kasus tersebut dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU TIPIKOR), adakah pelakunya dikenakan hukuman mati?
Banyak yang mengemukakan pendapat bahwa korupsi, kejahatan narkoba, pembunuhan, dan tindak pindana lainnya merupakan kejahatan yang sama. Penilaian tersebut berdasarkan efek yang ditimbulkan, pelaku korupsi telah membuat masyarakat rugi, pelaku kajahatan narkoba telah merusak generasi muda, dan pelaku pembunuhan menghilangkan nyawa orang lain (korban). Seperti yang telah diutarakan dalam Opini Mahasiswa di Media Indonesia, kamis 7 Agustus 2008, koruptor dan pelaku kejahatan narkoba sama-sama merugikan generasi muda dan masa depan bangsa, Vita Alwina Daravonsky Busyra. Penilaian-penilaian tersebut masih absurd, artinya landasan penilaian yang tidak tepat. Dari penilaian tersebut diambil kesimpulan bahwa kejahatan tersebut merupakan kejahatan yang merugikan orang banyak. Padahal kasus-kasus tersebut jelas berbeda efek korban secara kuantitas dan psikologis. Dan sebuah Opini Mahasiswa lagi di Media Indonesia, kamis 7 Agustus 2008, jika kita berbicara melanggar hak sebagai manusia, efek yang ditimbulkan perbuatan korupsi juga tak kalah hebatnya dengan pelanggaran hak asasi, Ardi Nanda. Pernyataan tersebut sangat hiperbola. Perlu diketahui bahwa pelanggaran hak asasi adalah pelanggaran manusia atas hidup. Dalam hal ini, pelanggaran HAM dan korupsi sangat berbeda, karena secara implisit pelanggaran HAM belum tentu dapat dikembalikan seperti asalnya. Bukan bararti korupsi dapat di golongkan tindakan yang baik atau pun tindakan yang harus ditolerir. Korupsi juga tindakan amoral dan merugikan negara, maka sudah seharusnya penggalangan anti korupsi ditegakkan yang lebih progresif. Namun, titik permasalahan disini adalah hukuman mati bagi yang dijatuhkan kepada karuptor.
Sebenarnya masih banyak kesalahan-kesalahan fatal dalam menentukan hukuman mati bagi koruptor. Misalnya, tindakan teledor dari penyidik kasus hingga kesalahan vonis pengadilan. Dalam sejarah terbukti bahwa sebanyak 123 terpidana mati di Amerika (1973-2006) dibebaskan karena telah ditemukannya bukti-bukti baru. Hal ini juga tidak tertutup kemungkinan terjadi di Indonesia.
Selain kesalahan tersebut, legalitas hukuman mati dalam berbagai kasus umumnya dan bagi koruptor khususnya telah menyalahi kontitusi negara Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 ayat 1 menyebutkan “hak hidup tiap orang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” Artinya adalah setiap warga negara Indonesia berhak hidup di negara Indonesia dan hak tersebut tidak dapat dicabut oleh siapa pun, termasuk oleh negara. Bahkan dalam ayat tersebut dipertegas dengan kata “…keadaan apa pun” yang berarti tidak ada pencabutan hak hidup. Hal ini berarti UU TIPIKOR masih ambigu dan tidak koheren dengan Undang-Undang utama negara Indonesia.
Penguatan kerancuan UU TIPIKOR juga terjadi dari Kovenan Hak Asasi Internasional bidang sipil dan politik yang dirativikasi pada tahun 2005, dalam kovenan tersebut terdapat bagian hak untuk hidup (Rights to Life) pasal 6 ayat 1 menyebutkan “setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapatkan perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu” Dalam kovenan tersebut menegaskan bahwa tidak ada yang dapat mencabut hak hidup seseorang dan bahkan pernyataannya mendekati dengan UUD 1945 pasal 28 ayat 1.
Satu hal yang belum pernah diekspose mengenai tindakan kejahatan adalah pemulihan kerugian korban secara moril dan materil. Sampai saat ini Indonesia belum ada suatu lembaga yang menangani pemulihan korban, lembaga tersebut nantinya menempatkan posisi di tengah-tengah dari diantara pelaku dan korban serta segala biaya-biaya didapat dari pelaku. Selain hukuman, tentunya dengan meniadakan hukuman mati, pelaku akan mendapatkan beban tanggungan pemulihan korban. Jika hal ini direalisasikan pada TIPIKOR dengan meniadakan hukuman mati, kemungkinan besar negara akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar, mulai dari barang sitaan yang berupa materil hingga masyarakat yang menjadi korban tentu akan mendapatkan haknya kembali. Artinya negara dalam keadaan apa pun mendapatkan keuntungan berlipat.
Jika efek jera dari hukuman mati bagi koruptor masih saja diperdebatkan, lebih efektif hal kelembagaan tersebut diadakan. Untuk lebih mengefektifkan lagi, lembaga tersebut harus sejalan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dan, satu hal lagi bahwa kelembagaan tersebut harus berdiri independen.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes