ARTIKEL PINTASAN

Friday, August 22, 2008

Pragmatisme Mahasiswa menjelang Pemilu 2009


Indonesia mulai ramai dengan pesta pemilu 2009. Parpol-parpol telah menyiapkan berbagai strategi sebagai langkah awal, diantaranya mencari dana atau pun menyiapkan dana. Persiapan dana tersebut membuat dana discontrol dari tim pengawas pemilu. Maksudnya adalah sumber-sumber dana berasal dari sumber gelap atau bahkan penyelewengan dana seperti pengalaman pemilu 2004 yang dilakukan oleh parpol. Bahkan parpol menyiapkan ikatan-ikatan sumber dana sebagai langkah persiapan. Ikatan tersbut juga dilakukan sejak awal karena melihat kuantitas peserta pemilu. Banyaknya peserta pemilu 2009, yakni sebanyak 34 peserta, membuat langkah awal tersebut dilandasi karena ketakutan kehilangan sumber dana.
Langkah kedua yang dilakukan adalah mencari caleg dan persiapan tim sukses sejak dini. Parpol-parpol bersiap melakukan incaran-incaran simpul massa. Seperti yang baru dialami oleh teman saya, karena posisi yang didudukinya strategis di dalam organisasi kampus, maka tawaran pun menghampirinya. Sebuah parpol telah melakukan komunikasi dan menawarkan sejumlah dana, namun dana tersebut tidak tanpa syarat atau ada take and give. Artinya ada misi di balik tawaran dana yang tidak kecil tersebut. Selain kasus tersebut, banyak simpul massa melepaskan ideologinya demi memanfaatkan momentum lima tahun sekali ini. Maka,simpul massa kampus merupakan sasaran yang paling empuk bagi parpol.
Dalam kehidupan kampus saat ini, tidak dapat di pungkiri bahwa biaya kuliah menjadi dalih utama untuk memasuki tawaran partai. Misalnya, sebuah Universitas negri di kota Bandung telah menaikkan biaya SPP sekitar 50 persen lebih untuk mahasiswa baru dan 20 persen untuk mahasiswa lama. Bahkan ironisnya, Universitas tersebut membuat kebijakan sepihak, yakni kebijakan mengenai disiplin registrasi SPP, pilihannya adalah cuti atau mengajukan pengunduran diri bagi yang tidak mampu bayar SPP tepat pada waktu. Ini artinya ada himpitan ekonomi bagi mahasiswa, karena secara ekonomis mahasiswa masih bergantung pada orang tua. Namun, jika realitanya adalah kehidupan ekonomi orang tua juga terhimpit karena shock kenaikan BBM yang baru saja dialami, maka pilihan untuk bersikap pragmatis dan opurtunis cenderung lebih besar.
Seperti yang telah di singgung di atas, ideology mahasiswa bersiap-siap untuk dilepas. Hal tersebut dilakukan demi memperlancar komunikasi dan tercapainya tujuan missioner partai. Sebut saja sebuah partai politik berasaskan keagamaan sementara ormas, yang menjadi tempat mahasiswa, berlandaskan nasionalisme, maka pilihan untuk meneruskan kehidupan kampus adalah melepaskan ideology nasionalisme dan bereksperimen dengan keagamaan. Karena efektifitas perbedaan tersebut akan mengakibatkan perdebatan panjang sehingga menimbulkan penarikan tawaran ulang. Dan, prioritas utama yang dibutuhkan oleh partai adalah massa.
Pragmatisme siap bermain dengan nilai jual, artinya pragmatisme mahasiswa akan dibeli oleh missioner partai. Meskipun dampaknya adalah ideology yang telah dibangun dalam kehidupan kampus dan perjuangan-perjuangan sosial yang telah dijalaninya, atau pilihannya adalah melewatkan momen pra-electoral yang menjanjikan. Pilihan yang dihadapi mahasiswa saat ini dalam momen electoral adalah mengambil tawaran atau melewatkan tawaran dengan himpitan ekonomi.
Sikap lain dari pragmatisme mahasiswa adalah opurtunisisme. Bagi mahasiswa simpul massa tidak menginginkan ormasnya terbengkalai, mengingat ormasnya selama ini telah dianggap sebagai rumah sendiri. Untuk menentukan sikap, opurtunistik merupakan pilihan yang terbaik bagi mahasiswa yang tidak menginginkan ormasnya terbengkalai. Namun, sebenarnya pilihan opurtunisisme sangat fatal terhadap perbedaan ideology antara ormas mahasiswa dengan orpol yang menawari. Dampaknya akan menjadi keterikatan terhadap orpol tersebut, sehingga kemungkinan yang timbul adalah perubahan yang fundamen bagi ormas, baik dari segi struktur maupun ideology.
Sikap pragmatisme dan opurtunisisme tidak akan mampu hilang jika realitanya sangat mendukung. Namun, tidak ada sebuah batu keras yang tidak dapat dihancurkan. Sikap keduanya dapat diminimalisir atau bahkan dihilangkan dengan cara-cara pemantapan dan revitalisasi perjuangan pergerakan mahasiswa. Bukan berarti bahwa perjuangan pergerakan mahasiswa murni melakukan perjuangan tanpa politik atau membenci politik. Sadar atau tidak sadar, perjuangan pergerakan mahasiswa merupakan bagian dari politik. Dan, sejarah juga membuktikan bahwa awal perjuangan pergerakan mahasiswa, pada saat itu dipelopori oleh tokoh nasional, Budi Utomo, mengindikasikan perjuangan yang politis. Maka, semuanya akan dipertanyakan kembali dari perjuangan pergerakan mahasiswa apakah perjuangan dan ideology mereka dapat dibeli?
Dan, jika kedua hal ini benar-benar terjadi pada simpul-simpul massa kampus, maka bersiap-siaplah pelunturan perjuangan serta rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap perjuangan pergerakan mahasiswa. Masyarakat saat ini menginginkan mahasiswa mampu berbuat sesuatu demi realita sosial, bukan menginginkan mahasiswa berada dalam ketidaksetaraan yang semakin jauh. Hal tersebut dikarenakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai-partai yang ada. Indikasinya dapat dilihat dari pilkada-pilkada yang telah kita lewati bersama. Suara masyarakat sekitar 50 persen berwarna putih, artinya bersikap golput atau tidak memilih. Apabila mahasiswa mengambil jalur agen partai dalam kampus, maka posisi mahasiswa yang seperti itu adalah sama dengan posisi partai-partai yang mulai tidak dipercayai lagi oleh masyarakat.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes