ARTIKEL PINTASAN

Wednesday, August 20, 2008

phobia isu bbm

Kenaikan harga BBM tidak mengenal kompromi bagi masyarakat miskin untuk menambah kemiskinan. Kanaikan tersebut yang jatuh pada akhir Mei lalu diikuti oleh naiknya harga-harga kebutuhan bahan pokok lainnya. Mengapa harga-harga bahan pokok harus mengikuti alur harga BBM? Mobilitas suatu barang di dalamnya yang berperan penting adalah bahan bakar minyak. Kendaraan sebagai materi yang tidak bernyawa tidak akan berpindah tanpa adanya bahan bakar. Paska klimaks Revolusi Inggris segala kendaraan (angkutan) diintensifkan sebagai alat mobilitas suatu barang.

Beberapa hari paska pengumuman harga BBM oleh pemerintah, pedagang-pedagang kaki lima dan sopir-sopir angkutan dipaksa untuk menyeimbangkan pengeluaran dengan pendapatan. Hasilnya harga-harga kebutuhan bahan pokok dan tarif angkutan melonjak rata-rata 20% - 50%. Harga beras misalnya dari Rp 4.500 menjadi Rp 5.500 serta harga tarif angkutan berubah dari Rp 2.000 menjadi Rp 3.000.

Seorang pedagang nasi goreng di daerah Jatinangor menyerukan bahwa pemerintah tidak konsisten terhadap janjinya, “Sudah capek saya sama pemerintah kayak gitu,” tuturnya. Bahkan ia menambahi bahwa saat ini masih takut terhadap kenaikan BBM kembali. Sebelum kenaikan BBM, pedagang tersebut dapat mencukupi kebutuhannya dengan satu orang anak, namun setelah kenaikan harga BBM ia harus mencari tambahan melalui kerja sampingan setelah berdagang nasi goreng.

Hal serupa juga diikuti oleh pedagang putu bambu di kawasan Kampus Jatinangor yang tidak mengetahui rencana kenaikan harga BBM jika harga bahan bakar dunia terus melonjak yang kini telah berada di level $130 per barel. Seperti ketakutan yang ada dalam benaknya jika isu tersebut benar-benar terjadi. Putu bambu yang dijualnya hanya Rp 1.000 per tiga buah, seharinya dapat terjual sekitar 150 – 200 buah dengan pendapatan sekitar Rp 50.000 – Rp 67.000. Jika laba yang didapatnya sebelum kenaikan harga BBM Rp 15.000 – Rp 25.000, namun setelah kenaikan harga BBM laba tersebut menurun menjadi Rp 10.000 – Rp 13.000 hal tersebut juga dikarenakan penjualan yang menurun.

Pedagang putu bambu tersebut juga mengeluhkan BLT yang ditawarkan oleh pemerintah, karena pemerintah tidak mendata secara serius terhadap masyarakat miskin. “Bayangkan, Mas, saya mau makan apa kalau pendapatan cuma sepuluh ribu. Belum untuk uang sekolah anak. Padahal gubernur dulu waktu kampanye janji membuat sekolah gratis, tapi mana?” ujarnya.

Apa yang dirasakan oleh kedua pedagang tersebut merupakan sample dari Masyarakat Indonesia. Masyarakat tidak sedikit yang berprofesi sebagai pedagang. Jika kenaikan harga BBM akan terulang kembali yang diakibatkan melonjaknya harga minyak dunia, maka keharusan menaikkan harga-harga dagangan harus dilakukan. Hal ini akan mengakibatkan menurunnya penjualan dagangannya yang menjadikan pendapatan pun ikut menurun. Bayangan ke depan pedagang-pedagang tersebut terhadap kenaikan harga BBM berikutnya menjadi phobia, ironisnya aplikasi phobia tersebut dapat berakibat fatal. Seperti di media televisi beberapa hari paska kenaikan harga BBM, seorang pedagang bunuh diri karena masalah ekonomi.

Mengenai demo-demo yang dilakukan oleh mahasiswa, kedua pedagang tersebut menyepakatinya. “Demo kayak gitu kan untuk masyarakat juga, Mas, kata pedagang nasi goreng. Tetapi sangat disayangkan jika implikasi demo-demo tersebut berupa tindakan anarkis. Tindakan-tindakan anarkis mahasiswa tersebut menambah phobia masyarakat. Kekerasan mahasiswa dalam demo merekonstruksi masyarakat bahwa demo berkonotasi negatif".

Klimaks dari kemarahan mahasiswa terjadi pada tanggal 24 Juni di depan gedung MPR dengan tindakan anarkis. Pembakaran ban, pelemparan batu terhadap polisi, dan reaksi polisi menjadikan suasana demo merupakan ketakutan tersembunyi masyarakat. Meski sebagian masyarakat juga menyetujui tindakan mahasiswa tersebut, namun di sisi lain dari masyarakat yang tidak menginginkan adanya kekerasan menjadikan aksi tersebut menambah beban pikiran. Para orang tua yang memiliki anak berkuliah di sekitar Pulau Jawa, menjadikan hal tersebut menambah beban serta halusinasi phobiaisasi. Ketakutan terhadap anaknya menjadi pelaku aksi-aksi tersebut yang berujung pada kematian. Hal ini tidak terlepas dari traumaistik tragedi Mei ’98.
Tekanan terhadap pemerintah dari mahasiswa tersebut belum juga menemukan titik pencerahan. Sebaliknya, pemerintah berani mengalihkan isu kenaikan harga BBM. Kedua pedagang tersebut mengutarakan hal yang sama, yakni, “Kapan pemerintah mau nurutin masyarakat?



dikutip dari Buletin Sadar.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes