ARTIKEL PINTASAN

Wednesday, August 20, 2008

kekerasan dalam penerimaan mahasiswa baru


Kekerasan dalam bahasa inggris adalah Violence, yang berasal dari bahasa latin, yakni “vis” yang artinya kekuatan, dan “ferre” yang artinya membawa. Jadi, secara etimologis Violence berarti suatu tindakan yang membawa kekuatan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) karangan Poerwadarminta, kekerasan diartikan sebagai sifat yang keras atau pemaksaan.
Bila melihat prosesnya, kekerasan terbagi atas dua, yakni kekerasan secara fisik dan kekerasan non-fisik. Kekerasan secara fisik, berdampak buruk terhadap korban. Namun, penekanan yang ada hanya pada fisik berbeda halnya kekerasan secara non-fisik, yang menekankan dampak pada mental. Efek dari kekerasan fisik hanya berupa kerugian ataupun pengurangan fisik. Hal ini terjadi karena, korban secara aktual telah melakukan defensif dari serangan tindak kekerasan dengan tidak menginginkan kematian. Apabila korban mengalami kematian, berarti kerugian murni pada fisik. Jika efek yang terjadi dari kekerasan non-fisik, dalam hal ini adalah kerugian, penekanan terjadi pada mental yang berdampak penyimpangan psikis.
Yang terjadi aktual di kehidupan kampus saat ini adalah kekerasan non-fisik. Seorang sosiolog, J. Galtung mengungkapkan bahwa kekerasan non-fisik lebih berbahaya dari kekerasan fisik. Melihat dampak-dampak yang diakibatkan dari kekerasan non-fisik ini berada di jalur psikis seseorang. Sebelumnya, akan diuraikan terlebih dahulu yang termasuk dalam kekerasan non-fisik. Kekerasan non-fisik adalah tindakan kekerasan selain kekerasan fisik, dapat berupa ujud nyata maupun tidak nyata (latent). Namun, yang sering melakukan kekerasan non-fisik berupa kesatuan dalam bentuk struktur. Seperti tindakan-tindakan pressure terhadap mahasiswa baru adalah bagian dari kekerasan non-fisik, karena ada sifat kekuatan di dalamnya.
Contoh kasus, mahasiswa baru dengan mahasiswa lama kedudukannya secara akademis sama. Keduanya merupakan mahasiswa, hanya waktu yang membedakan keduanya. Egaliter dari keduanya menjadi retan terhadap kesenjangan karena cenderung menjadi feodal. Hal inilah yang terjadi secara aktual dalam kehidupan dunia kampus, khsusnya dalam sistem penerimaan mahasiswa baru. Pressure-presure atau pun tekanan mental yang sebenarnya akan sangat jauh dari apa yang diinginkan oleh panitia penerimaan mahasiswa baru. Para panitia hanya mengharapkan hasil implementasi tersebut berbuah ‘kebersamaan’ atau ‘kesetaraan sosial’. Padahal, banyak sekali implikasi dampak dari pressure tersebut. Misalnya, mahasiswa baru yang secara emosional masih labil jika dibenturkan dengan pressure kemungkinan terbesar adalah interpretasi yang negatif, berupa reaksi emosi, reaksi pen-justice-an, dan mengalami ‘down’. Mahasiswa baru adalah himpunan kebudayaan yang berbeda-beda, melihat juga bahwa kebudayan keluarga masing-masing ada kemungkinan berada pada sensitifisme yang tinggi. Jika panitia masih berada dalam posisi pressure terhadap mahasiswa baru, yang menjadi pertanyaan adalah Apakah hanya tindakan pressure implementasi dari ‘kebersamaan’, ‘kesetaraan sosial’ atau pun keinginan panitia?.
Kembali pada defenitif kekerasan. Suatu tindak kekerasan terjadi apabila tindakan aktual berada di bawah tindakan potensial. Tindakan-tindakan potensial maksudnya berupa tindakan-tindakan yang kemungkinan meredupkan tindak kekerasan. Tindakan potensial juga mencakup wawasan dan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang. Secara dampak, kekerasan merupakan suatu tindakan yang desduktrif terhadap perkembangan seseorang. Jika dikaitkan dengan realita kampus, penerimaan yang melakukan pola-pola pressure terhadap mahasiswa baru merupakan tindakan dini menghambat perkembangan individu (mahasiswa baru).
Jika berkaca kebelakang, culture penerimaan mahasiswa baru yang orientasi terhadap kekerasan dengan dampak yang efektif, sebenarnya dimana penilaian efektif yang dimaksud?. Apakah dengan keberhasilan mahasiswa menjatuhkan rejim Soeharto? Apakah dengan banyaknya yang berorganisasi? Apakah dengan realita kampus saat ini? Semua pertanyaan tersebut memerlukan kajian yang lebih. Realita saat ini, bila dikaitkan dengan keadaan negara, negara menganut sistem demokrasi berarti yang dilakukan oleh panitia penerimaan mahasiswa baru adalah penyimpangan besar. Seperti apa yang kita ketahui bersama esensi dari demokrasi adalah kemenangan bagi rakyat.
Tindakan kekerasan panitia yang non-fisik tersebut, dijadikan dalih sebagai hukuman dan tujuan. Tetapi jelas bahwa tindakan tersebut lebih merugikan mahasiswa baru, karena melihat pendanaan acara penerimaan mahasiswa baru berasal dari mahasiswa baru tersebut. Jika hukuman sebagai landasan untuk bertindak kekerasan, perlu adanya penjabaran mengenai hukuman. Secara generalisasi, hukuman adalah suatu reaksi dari tindakan indisipliner. Dan tujuan disiplin hanya sebagai langkah kondisi penyamanan.
Banyak kampus yang memakai konsep-konsep presuritas dalam penerimaan mahasiswa baru, contahnya di salah satu Perguaruan Tinggi Negri Bandung, panitia-panitia khususnya mahasiswa tidak ingin mahasiswa baru tersebut bertindak semenah-menah, artinya panitia tidak menginginkan kebebasan.
Realita seperti ini akan marak dalam beberapa bulan lagi, mengingat Penerimaan Mahasiswa Baru jatuh pada bulan Juli dan Agustus. Mahasiswa-mahasiswa yang menjadi panitia bersiap-siap merusmuskan konsep-konsep seperti ini. Dengan dalih yang panitia-panitia penerimaan mahasiswa baru tersebut sangat tidak irasionil. Pembentukan mental mahasiswa baru tidak mudah dan praktis, karena mentalitas berkaitan dengan psikis seseorang. Jika hal tersebut masih digunakan oleh panitia penerimaan mahasiswa baru, kemungkinan terbesar korban (mahasiswa baru) akan mengaplikasikan emosinya di luar ruang lingkup kampus. Sehingga yang menjadi korban selanjutnya adalah keluarga atau pun masyarakat.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes