Menjauhkan Impersonal - Di Kompas,
Minggu (31/08), Bre Redana, menuturkan kisah impersonal yang ia alami. Bre
tengah melakukan perjalanan ke salah satu negara di Eropa dengan menggunakan
pesawat terbang. Urusan administrasi keperluan pesawat itu ia lakukan dengan
sebuah mesin yang tersedia di bandara. Menurut dia, pengalaman berurusan dengan mesin membuat
dirinya impersonal. Sama halnya seperti urusan administrasi lainnya, seperti
membeli makanan, membayar tagihan, hingga dalam hal ihwal pendaftaran (registrasi).
Dehumanisasi.
Zaman telah berubah, dari interaksi sesama manusia ke interaksi manusia dengan
mesin. Manusia semakin mendekatkan diri dengan kemudahan (teknik) melalui
instrumen mesin. Manusia semakin dekat dengan mesin ATM (anjungan tunai
mandiri) ketimbang harus teller bank. Manusia semakin mendekatkan diri dengan
televisi ketimbang harus bercengkerama dengan teman. Manusia semakin dekat
dengan “ebook” ketimbang harus membawa buku. Di satu sisi hal itu menguntungkan
bagi manusia dalam sudut pandang efisiensi. Namun, di sisi lain manusia justru
semakin jauh dari lingkungan manusia itu sendiri (alienasi).
Di desa hal
semacam itu masih teratasi dengan tradisi. Sebuah tradisi kemanusiaan, di mana
interaksi antarmanusia dan tolong-menolong sesama manusia masih tinggi. Dengan
kegiatan antarmanusianya, suatu kelompok dapat menjaga sifat-sifat manusiawi.
Tidak terjebak pada kedekatan dengan mesin-mesin.
Seperti
kegiatan di Kecamatan Piyungan, Bantul, Yogyakarta, Minggu (31/08) siang.
Beberapa dusun di kecamatan ini melakukan kirab budaya. Warga sekitar menyebut
“Kirab Jodang”. Jodang, semacam replica yang terbuat dari kayu, diarak dari
satu tempat ke tempat lain. Jodang berisi hasil panen kebun, kue, nasi, hingga
uang yang dikemas di dalam plastik putih.
Warga yang
turut serta mengarak dari jodang dari Dusun Klenggotan hingga ke dusun lainnya.
Jaraknya sekitar 2 kilometer. Sepanjang jalan arak-arakan warga lainnya
menyaksikan arak-arakan tersebut. Mereka seakan terhibur dengan ekspresi
tradisi tiap-tiap kelompok yang mewakili dusunnya masing-masing. Ada kelompok
yang memainkan alat musik angklung sambil melantunkan salawat nabi. Ada
kelompok yang memainkan instrument drumband. Ada kelompok yang memainkan
karakter tokoh bertopeng.
Sesampainya di
tempat akhir (tujuan) arak-arakan, semua kelompok berkumpul. Pengurus instansi
kecamatan dan kepolisian (polsek) memberi ceramah. Selanjutnya, acara yang
dinanti-nantikan warga, berbagi jodang. Seisi jodang dibagi, setelah diiringi
doa. Satu kelompok membagi jodang ke kelompok lainnya. Sementara warga yang
bukan peserta arak-arakan juga ikut mengambil isi jodang. Saling berebut.
Saling bahagia. Saling melempar tawa dan keceriaan. Semua makanan yang ada di
sekitar lokasi adalah makanan milik bersama. Tanpa batas kepemilikan.
Setelah acara
tersebut, semua warga yang ada di sekitar lokasi menikmati apa yang mereka
dapat. Sambil bercerita. Sambil berkisah. Mereka bercerita banyak hal.
Apakah tradisi
semacam ini bisa dialihkan ke dalam mesin? Yang jelas, tradisi seperti ini menjaga
hubungan sesame manusia dan kekeluarga masyarakat di desa tetap terjaga, tidak
seperti kisah Bre Redana itu di salah Bandara yang ada di Eropa sana.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.