Pada tahun sebelum tahun 90an, sebuah penelitian mengenai minat masyarakat di Indonesia terhadap sastra menyimpulkan sangat minim. Lalu pembuktiannya dilakukan dengan menganalisis, lulusan SMA di Indonesia tidak mengetahui dengan jelas satu pun karya sastra. Berbeda dengan siswa yang setara dengan SMA di negara-negara maju, lebih dari lima puluh persen siswanya telah mengusai puluhan kesusastraan.
Menurut R Wellek, secara fungsional sastra terbagi dua, yakni Dulce dan utile. namun, selain hal tersebut, sastra dapat menjadikan media ujian interpretasi. Karena sastra merupakan teks yang multi-interpretasi. Dalam suatu karya sastra, misalnya sebuah puisi terkandung banyak interpretasi. Hanya saja, bagaimana cara ilmu untuk mengkajinya dengan semiotik dan lainnya.
Penelitian tersebut saat ini masih relevan dengan keadaan masyarakat Indonesia. Artinya, sejak adanya penilitian tersebut hingga saat ini, masyarakat Indonesia belum mengalami dialektika terhadap kecintaan atau minat terhadap sastra. Hal ini dapat dilihat dengan produksi atau judul-judul yang dihasilkan oleh penerbit dalam setahun. Terlepas dari isi kesusastraan, Indonesia tertinggal jauh dalam memproduksi buku pertahunnya dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, misalnya India dan Cina.
Kesusastraan menjadi pembelajaran yang tabu karena stigma-stigma dunia kerja. Banyak mahasiswa yang merasa terjerumus ke dalam pendidikan dunia sastra. Generalisasi dari agument-argument mahasiswa yang terjerumus tersebut adalah katukutan dalam persaingan dunia kerja. Jika perkuliahan dikalitkan dengan dunia kerja, hal ini dapat dimentahkan dengan histori pendidikan kemahasiswaan.
Dampak dari minimnya minat masyarakat terhadap dunia sastra mengakibatkan terciptanya masyarakat yang minim interpretasi, sehingga kehidupan dalam bermasyarakat tidak berdinamika. Perbedaan interpretasi memicu untuk melakukan perdebatan hingga akhirnya melakukan perundingan maupun diskusi. Selain minimnya interpretasi, masyarakat juga terbentuk dengan minimnya budaya membaca. Objek dari sastra adalah bahasa. Maka, bahasa-bahasa yang digunakan sebagai kesusastraan, untuk menikmatinya adalah pembacaan kara sastra.
Menelaah kausalitas, apakah penikmat yang minim atau pencipta yang minim? Jika melihat mahasiswa yang berada di kampus sastra, secara kuantitas sangat jauh dibandingkan mahasiswa non-sastra yang lebih banyak. Diimplisitkan lagi, bahwa mahasiswa sastra Indonesia di tiap perguruan tinggi negri kuantitasnya lebih sedikit dibandingkan mahasiswa sastra Inggris. Peminat sastra Inggris tersebut berdalih hanya dengan mudahnya penempatan kerja setelah lulus. Dapat disimpulkan bahwa sastra Indonesia susah dalam penempatan kerja.
Stigma-stigma tersebut tidak pantas dieksplor dari individu yang duduk diperkuliahan sastra. Pembekalan dalam pendidikan sastra murni adalah ilmu-ilmu sastra, bukan pembekalan pendidikan dunia kerja atau pun pendidikan untuk mendidik yang beraplikasi sebagai seorang guru. Artinya adalah pendidikan sastra yang diberikan secara akademik mengarahkan mahasiswa untuk mencipta atau berkarya maupun mengkritik karya. Hingga karya-karya yang beredar lebih bermutu. Sehingga masyarakat mengonsumsi sastra yang bernilai tinggi.
Sedangkan keadaan masyarakat dalam menikmati karya sastra belum mencapai titik kesetaraan dengan karya-karya sastra yang beredar. Ironisnya lagi, karya-karya sastra yang beredar dari penerbit juga sangat jauh dibandingkan dengan negara-negara maju maupun negara-negara berkembang, seperti India dan Cina. Jika pembenturannya adalah teknologi, sudah seharusnya juga karya-karya sastra bermediasi melalui teknologi. Salah satunya dengan internetisasi.
Jika hal ini terus terjadi, maka yang terjadi pada masyarakat Indonesia adalah kemiskinan interpretasi dan terciptanya budaya malas baca. Dan hal tersebut menjadikan negara ini sebagai negara budak dari negara lain.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.