ARTIKEL PINTASAN

Sunday, June 1, 2014

Sejarah Haji, Dari Arab hingga Nusantara




sampul buku Historiografi Haji Indonesia (foto: blogspot)
Sejarah Haji, Dari Arab hingga Nusantara - Pelasanaan ibadah Rukun Islam kelima ini dari masa ke masa memang dipandang harus matang-matang. Bahkan seperti tertera di dalam surah Ali Imran ayat 97, peribadahan haji diwajibkan bagi umat muslim  yang telah mencapai kesanggupan. Pelaksanaannya membutuhkan kemampuan (isthitha’ah). Tidak hanya kemampuan secara materi, melainkan juga kemampuan nonmateri, di antaranya kesiapan mental, kesiapan fisik, dan kesiapan kesadaran. Dengan kesungguhan itu, nilai haji di tengah lingkup sosial dan pribadi akan menyelaras pula dengan kedekatan Allah SWT.
Pelaksanaan haji merupakan bagian dari peribadahan agama samawi (menganut nilai tauhid). Tiga nabi pemelihara peribadahan ini ialah Nabi Adam, Nabi Ibrahim, dan Nabi Muhammad. Tradisi ini juga diteruskan bangsa Arab Jahilliyah, dengan memelihara tradisi dari Nabi Ibrahim sebelum akhirnya dilengkapi oleh Nabi Muhammad. Beberapa nabi lainnya, seperti Nuh, Hud, Shaleh, dan Syu’aib dikabarkan juga pernah melaksanakan haji ke Baitullah (halaman 22).
Nabi Adam merupakan pendiri bangunan Kakbah. Pada Nabi Adam pula dimulainya tata cara tawaf sebanyak tujuh putaran. Inti dari peribadahan Beliau ialah permohanan ampun dosa dirinya dan dosa anak cucunya yang datang ke Baitullah. Namun, secara keseluruhan, tata cara peribdahan yang dilakukan Nabi Adam masih terbilang sederhana.
Selanjutnya, setelah bangunan Kakbah tidak utuh, Nabi Ibrahim membangun tepat di bagian reruntuhan Kakbah. Pada masa Nabi Ibrahim tradisi-tradisi peribadahan mulai terbentuk. Di antaranya lari-lari kecil antara Shafa dan Marwah, penyempurnaan tawaf, dan lempar jumrah.
Setelah menyebarkan seruan pelaksanaan haji atas petunjuk Jibril, pengikutnya terus menjaga peribadahan tersebut. Setelah itu, setiap tahun Ibrahim memimpin pelaksanaan ibadah haji dan sepeninggalnya, pelaksanaan ibadah haji dipimpin oleh Ismail) dan diikuti oleh masyarakat Jurhum, penduduk Makah (halaman 29).
Sebelum masa Rasulallah, tradisi itu diteruskan oleh bangsa Arab Jahilliyah. Bangsa Arab Jahilliyah menjaga tata cara yang ditinggalkan Nabi Ibrahim. Meski begitu, terdapat pergeseran tradisi di masa-masa peribadahan bangsa Arab Jahilliyah. Pergeseran tersebut ialah penghitungan bulan Muharram.
Selanjutnya, Nabi Muhammad meneruskan tradisi tersebut dengan penyempurnaan di beberapa tata cara peribadahan. Berdasarkan Kitab al-Hajj wa al-Umrah, Nabi Muhammad kali pertama menerima perintah kewajiban pelaksanaan haji pada 628 Masehi (6 Hijriah). Perintah itu diturunkan melalui surah Al-Baqarah ayat 196.
Nabi Muhammad melaksanakan haji berdasarkan manasik (tata cara pelaksanaan ibadah haji) yang ditetapkan oleh Allah. Sebagian besar tempat, waktu, dan kegiatan yang terdapat dalam manasik adalah sama dengan manasik haji Nabi Ibrahim. Persamaan ini bukanlah suatu co-incident, melainkan suatu yang dikehendaki oleh Allah dan sebagian realisasi doa Ibrahim setelah selesai membangun Kakbah, di mana Muhammad dari suku Quraisy itu termasuk keterunannya (halaman 34).
Jauh sebelum kemerdekaan atau berdirinya Indonesia secara de facto, umat muslim di Nusantara telah melaksanakan haji ke Baitullah, melakukan perjalanan ke Makah. Seperti kondisi perdagang antarbangsa pramodern pada umumnya, kepergian umat muslim Nusantara ke Baitullah tidak semata-mata karena pelaksanaan haji. Pada masa abad ke XVI telah ditemui bangsa dari Nusantara melakukan kunjungan ke Hijaz, bertujuan melakukan pekerjaan masing-masing. Mereka yang pergi bukan jamaah haji seutuhnya, malainkan para pedagang, para utusan dari suatu kerajaan, hingga para penuntut ilmu yang menghabiskan waktu lama di sekitar Makah dan Madinah.
Sebagian yang diketahui melakukan kunjungan ke Hijaz tersebut ialah masyarakat Aceh. Hubungan erat antara Aceh dan Turki Usmani pada 1516 menyebabkan sebagian utusan-utusan Aceh berlayar ke Turki. Pada perlayaran itulah para utusan melakukan persinggah ke Hijaz. Hubungan perdagangan yang lancar antara Aceh dan Turki ditandai dengan adanya armada perdagangan di Jeddah. Sebuah sumber Venesia melaporkan bahwa pada 1556 dan 1566 terdapat lima buah kapal dari Aceh yang berlabuh di Jeddah (halaman 106). Namun, belum dapat diketahui siapa haji pertama kali dari Nusantara pada masa itu.
Salah seorang yang tercatat melakukan studi di Hijaz ialah Muhammad Yusuf pada tahun 1926-1699 masehi. Di sana, Syaikh Yusuf –begitu ia biasa disebut- mempelajari ilmu-ilmu agama, seperti fiqh, tasawuf, dan bahasa Arab. Selain belajar di luar, Syaikh kelahiran Makassar, Kerajaan Gowa, ini juga melakukan studi di Aceh.
Selain Syaikh Yusuf, Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri as-Sinkili melakukan tujuan studi ke Arab Saudi, 1615-1693 masehi.  Abdurauf Singkel, lelaki kelahiran Sinkel, ini mengawali studi agama bersama orangtuanya sendiri. Selanjutnya ia melanjutkan studi di Aceh dan ke Arab Saudi.
Pada periode-periode selanjutnya, tepatnya saat Nusantara di bawah kekuasaan Belanda, pemberangkatan ibadah haji dikendalikan oleh Belanda. Pengendalian diawali dengan adanya sebuah perjanjian, antara kerajaan Mataram dengan VOC, 1646 masehi. Kuatnya penguasaan di sektor perlayaran, sebagai jalur transportasi dari Nusantara ke Makah, oleh Belanda menjadi faktor eksternal umat muslim pada masa itu. Transportasi haji pada masa ini ialah kapal niaga dan kapal haji.
Pada masa permulaan haji, segala keperluan di Hijaz diurus sendiri oleh jamaah haji. Sebelum konsulat Belanda didirikan di Jeddah, jamaah haji langsung ditangani oleh Syaikhatau perwakilan lainnya di Kota Pelabuhan tersebut (halaman 141).
Pada 1902 mengeluarkan semacam surat edaran politis, Staatsblad van Nederlandch-Indie, nomor 318. Pasang surut keberangkatan haji di Nusantara semakin diperketat oleh Belanda. Lembaga-lembaga terkait pelaksanaan haji di Nusantara tidak terlepas dari pengawasan Belanda. Hal ini menjadi faktor bagi umat muslim di Nusantara pada masa itu untuk melakukan haji.
Pada masa-masa jelang kemerdekaan, 1920-an, muncul penilaian dari jamaah haji, bahwa pelaksanaan haji di Nusantara tidak lebih baik dibandingkan pelaksanaan haji dari daerah kekuasaan Inggris, seperti Malaysia dan Singapura. Daerah-daerah yang dekat dari Singapura, seperti Riau, Jambi, Palembang, dan sekitarnya lebih memlilih pemberangkatan menggunakan kapal Inggris. Sementara daerah lainnya terpaksa menggunakan kapal Belanda, yang dipandang sangat tidak bagus.


Judul Buku: Historiografi Haji Indonesia
Penulis: Dr M Shaleh Putuhena
Penerbit: LKiS
Cetakan: Januari 2007
Tebal: 436 halaman
ISBN: 979-25-5264-2


Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes