ARTIKEL PINTASAN

Friday, January 28, 2011

Polemik dan Industrialisasi Sepak Bola



Polemik antara PSSI dengan pengurus LPI (Liga Primier Indonesia) belum usai hingga saat ini. Adu pendapat dan argumen terus bermunculan di berbagai media massa demi mempertahankan sikap masing-masing. Sebelumnya, LPI bersikukuh tetap menjalankan pertandingan meski tidak mendapatkan persetujuan dari pihak kelembagaan resmi persepakbolaan di Indonesia, PSSI. Di lain pihak, PSSI mengecam tindakan LPI. Polemik yang tanpa pertemuan kedua belah pihak seolah-olah menjadi permainan opera rakyat, hanya adu pendapat tanpa pertemuan yang pasti dari kedua belah pihak.
Ada dua kemungkinan asumsi yang dapat disimpulkan oleh publik atas polemik seperti itu. Pertama, kemungkinan bagian dari tindak politik partai. Asumsi ini terkait dengan latar individu masing-masing atas keikutsertaannya pada suatu partai politik tertentu. Artinya, pimpinan PSSI memiliki relasi terdekat dengan suatu partai apa, begitu pula halnya dengan LPI.
Kedua, kemungkinan dijadikan sebagai ranah yang potensial terhadap bisnis. Asumsi ini terkait dengan kedua pimpinan PSSI dan penggagas LPI merupakan dua pebisnis yang cukup diakui di dalam negeri. Sepak bola merupakan suatu sarana olah raga yang diikuti banyak partisipasi dari berbagai kalangan, baik partisipan sebagai pemain maupun partisipan suporter. Oleh karena itu, sepak bola diproyeksikan sebagai ranah yang potensial.
Ketiga, kemungkinan perebutan jabatan tertinggi PSSI. Setelah pengesahan Nurdin Halid sebagai pemimpin PSSI, pada 17 November 2003, di tahun 2011 akan muncul calon-calon ketua baru.
Industrialisasi
Polemik sepak bola yang terjadi belakangan ini justru terarah pada satu option sebagai jalan tengah. Jalan tengah tersebut dianggap terbaik. Terbaik karena perseteruan LPI dengan PSSI tidak saling dirugikan, justru akan menguntungkan bagi pretasi sepak bola di Indonesia. Option tersebut adalah indutrialisasi sepak bola.
Menengahi polemik antara PSSI dengan LPI cukup mudah. Di satu sisi LPI jelas kalah oleh legitimasi, karena legislator pengadaan pertandingan sepak bola ada pada PSSI. Dan secara internasional ada pada FIFA. Namun, keunggulan LPI sebagai penggagas tradisi sepak bola yang bersih, sportivitas tinggi, dan menjungjung tinggi fairplay. Di LSI, sebagai kelembagaan liga preofesional yang diakui oleh PSSI, belum dan bahkan sering dikeluhkan masyarakat mengenai kinerja instrumen tiap pertandingan serta nilai-nilai sportivitasnya. Tanpa saling menuding satu kelembagaan, lebih baik kita menjalankan LSI di bawah naungan PSSI secara profesional.
Dengan diteruskannya tradisi LSI di bawah naungan PSSI, maka sepak bola (liga) akan jauh dari intervensi pengusaha. Intervensi pengusaha terjadi bila sepak bola kita telah resmi diakui sebagai suatu wadah industrial, atau dikenal dengan industrialisasi sepak bola. Intervensi pengusaha sebagai pemilik saham (terbesar) pada badan kelembagaan club hanya berpretensi terhadap “nilai tambah” –atau istilah Adorno, nilai-guna berubah menjadi nilai-tukar di dalam industri- yang berpotensi pada tindakan semena-mena pemilik badan club. Meskipun kita akui, kadang tujuan pemilik club selalu ingin membangun perbaikan sepak bola. Seperti yang diagung-agungkan oleh LPI belakangan ini, yakni LPI dengan industrialisasi sepak bola bertujuan memperbaiki sistem sepak bola di Indonesia.
Industri sepak bola pada dasarnya adalah sistem nilai jual-beli. Di dalamnya diperioritaskan nilai untung-ruginya yang bertujuan mengumpulkan keuntungan sebesar-besarnya. Kita lihat acuan beberapa club Liga di Eropa yang memiliki nama, seperti Chelsea, Inter Milan, Real Madrid, dan Man. City. Club-club tersebut dengan “tangan dingin” pemilik club memutuskan pelatih di tengah kontrak berjalan karena hasil yang kurang memuaskan. Selain itu, pembelian para pemain tidak lagi berorientasi pada potensi pemain semata, melainkan pertimbangan-pertimbangan untung-rugi yang didapatkan dari bakal pemain.
Seolah-olah industrialisasi sepak bola akan memajukan persepakbolaan di masa depan, baik itu bagi Tim Nasional maupun club-club di dalam negeri. Industrialisasi hanya suatu praktek perdagangan. Salah satu dampak sosialnya adalah, sepak bola bukan lagi sebagai sarana olah raga yang murni, melainkan sarana peluang kerja. Oleh karena itu, tidak dapat dijamin bahwa industrialisasi sepak bola akan memajukan tradisi sepak bola di Indonesia. Apalagi kita akan kalah saing dengan liga-liga yang telah mapan di Eropa. Analoginya adalah persaingan mall dengan pedagang kaki lima.
Adanya berbagai alasan, cukup bahwa liga di Indonesia hanya berada dan dikelola sepenuhnya oleh PSSI. Dengan syarat tertentu demi kemajuan bersama. PSSI dan polanya bukanlah suatu kesalahan atas kebobrokan sepak bola di Indonesia. Kesalahan ada pada pengurus PSSI tersebut, bukan karena sepak bola dikelola oleh negara. Oleh karena itu, pengurus PSSI harus direformasi dan LSI tetap berjalan dengan restorasi instrumennya. Jawabannya bukan industrialisasi sepak bola, tetapi reformasi segera pengurus PSSI.

Fredy Wansyah

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes