ARTIKEL PINTASAN

Thursday, April 2, 2009


MAHASISWA DALAM PEMILU



Oleh Fredy Wansyah*

Masyarakat Indonesia akan menyelenggarakan ‘pesta demokrasi’ beberapa saat lagi. Hanya menghitung hari, Indonesia akan mengadakan pemilihan calon legislatif. Dan, hanya menghitung bulan, Presiden Indonesia yang baru akan terpilih. Masyarakat Indonesia berkonsentrasi pada momen electoral 2009 ini. Indikasinya, pada tanggal yang telah ditentukan untuk pemilu caleg dan capres, beberapa institusi meliburkan diri dan mempersingkat jam kerja.


Perjalanan Pemilihan Umum

Sejak berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia, masyarakat menginginkan negara demokratis melalui pemilihan umum. Berawal dari keinginan pemerintahan Soekarno-Hatta pada tahun 1946, mulai dibentuk melalui beberapa konstitusi, seperti Maklumat untuk memilih anggota DPR dan MPR. Terlepas dari sudut pandang konflik, Indonesia memiliki tujuan mengadakan sebuah pemilihan umum yang jujur, adil, aman, dan demokratis. Pada tahun 1955 Indonesia berhasil melakukan pemilihan umum sesuai dengan tujuan. Pemilu tersebut menjadi sejarah sebagai pemilu pertama di Indonesia, bahkan beberapa pihak memuji atas keberhasilan tersebut.

Dilanjutkan pemilu berikutnya pada tahun 1971, pasca krisis politik dan krisis ekonomi 1966, Indonesia melaksanakan pemilu yang kedua saat Soeharto menduduki jabatan sebagai presiden Republik Indonesia. Fase ini, Soeharto bertindak ‘otoritarian.’ Pemilu pertama pada era Soekarno, sikap berpihak pada partainya diberikan kebebasan, berbeda dengan pemilu kedua. Soeharto memberikan pernyataan pada pejabat nagara untuk beriskap netral, namun prakteknya berbeda. Pejabat-pejabat negara dan PNS diberikan arahan ke suatu partai, yakni partai yang menjadi alat politik Soeharto. Sikap lain oleh Soeharto yang mencerminkan ‘otoritarian’ adalah ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang menetapkan pemilu dilaksanakan pada tahun 1968 diubah oleh Soeharto menjadi tahun 1971. Bahkan, Soeharto telah membersihkan anggota-anggota DPR dan MPRS rejim Orde Lama.

Tahun-tahun berikutnya pemilu diadakan dengan jarak waktu lima tahun sekali. Rentang waktu pemilu pada tahun 1971 dengan pemilu berikutnya (1977) adalah enam tahun. Dari hal itu, pemilu berikutnya diadakan pada tahun 1977.

Pemilu ketiga, partai-partai mengalami pengerucutan dari segi jumlah. Sebelumnya, partai peserta pemilu berjumlah sepuluh, sementara pada pemilu 1977 hanya berjumlah tiga, yakni GOLKAR (Golongan Karya), PPP (Partai Persatuan Pembangunan), dan PDI (Partai Demokrasi Indonesia). Sementara itu, sistem proporsional masih diberlakukan di pemilu 1977.

Pada tahun-tahun berikutnya, yakni tahun 1982, tahun 1987, tahun 1992, dan tahun 1997, GOLKAR selalu memenangkan hasil pemilu. Kekuatan diperoleh dari basis militer dan birokrasi sipil. Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa PPP dan PDI hanya menjadi partai pelengkap sebagai pembangunan wacana ‘demokrasi’ di Indonesia kepada dunia internasional. Kemenangan GOLKAR pun diwarnai dengan tindakan-tindakan represif kepada berbagai pihak, salah satunya adalah mahasiswa. Pemerintah menetapkan SK 0156/1978 dan SK 037/1979 sebagai alat menetralisir gerakan-gerakan kampus sebab pasca pemilu 1977 beberapa kelompok mahasiswa menolak pencalonan Soeharto pada pemilu berikutnya.

Dua proses pemilu dilakukan setelah 1997, yakni tahun 1999 dan tahun 2004. Rentang waktu pelaksanaan pemilu 1997 dengan 1999 tidak mengikuti ketetapan, ini hanya bersifat sementara. Pasca pemilu 1997 terjadi ledakan-ledakan emosi masyarakat. Di berbagai tempat terjadi demo massa, perusakan terjadi di beberapa tempat, dan puncaknya terjadi dengan lengsernya Presiden Soeharto. Desakan dari berbagai pihak untuk mempercepat pelaksanaan pemilu pasca lengsernya Soeharto dari jabatannya harus dipenuhi. Reformasi pun menjadi tawaran yang solutif. Menurut beberapa pihak, tawaran tersebut akan membuka ruang-ruang demokrasi, khususnya bagi partai yang selama kepemimpinan Soeharto tidak mendapatkan ruang politik praktis. Akibatnya, lonjakan peserta pemilu sangat meningkat drastis pada tahun 1999 dan tahun 2004. Seperti pada tahun 1999, partai peserta pemilu mencapai 48 dari 141 partai yang mendaftar di Departemen Kehakiman dan HAM. Pada pemilu 2009 ini, dugaan permainan kotor oleh partai politik menjadi berita di berbagai media, dari mulai money politics hingga manipulasi daftar calon pemilih.


Pemilu bagi Mahasiswa

Tidak sedikit mahasiswa yang membangun partai politik. Para pemuda aktivis, sejak berdirinya negara Indonesia memiliki tendensi berpolitik praktis. Aplikasinya ada dua pilihan, yakni membentuk partai atau mengikuti partai yang telah ada. Pada masa Boedi Utomo, beberapa pemuda membentuk partai-partai, seperti PNI dan Partindo. Meskipun tidak semua pemuda tersebut yang berstatus mahasiswa, tetapi gejala paradigma pentingnya sebuah partai sebagai wadah perjuangan atau berjuang melalui partai pada pemilu sebagai langkah berikutnya dalam perjuangan. Hal ini dilakukan mahasiswa setelah menyelesaikan statusnya sebagai mahasiswa.

Perspektif lain, mahasiswa hadir hanya sebagai oposisi pemerintah. Barisan oposisi ini diharapkan dapat mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah dari segala aspek. Salah satunya adalah mengkritisi dan memantau pemilihan umum. Seperti yang telah dilakukan oleh sekelompok mahasiswa pada tahun 1978, yang menolak pencalonan kembali Presiden Soeharto untuk pemilu berikutnya. Gerakan mahasiswa dalam menyikapi pemilu lainnya dibuktikan dengan jatuhnya dua presiden, yakni Soekarno pada tahun 1967 dan Soeharto pada tahun 1998.

Mahasiswa berada di antara dua pilihan tersebut tetapi sangat sulit bagi mahasiswa untuk melakukan politik praktis dengan status yang disandangnya. Mahasiswa terbentur dengan kewajiban-kewajiban kampus, padahal pengarahan fokus pada kampus merupakan tujuan diberlakukannnya NKK/BKK yang mengharuskan mahasiswa hanya berpolitik dalam kampus, yakni BEM (Badan Mahasiswa Eksekutif) atau Senat mahasiswa. Dan, NKK/BKK merupakan akibat dari perjuangan sekelompok mahasiswa atas sikap presiden Soeharto pada tahun 1978.

Pemilu bagi mahasiswa adalah sebuah alat aplikasi menuangkan ide-idenya secara ideologis atau objektif. Namun, saat ini mahasiswa memiliki tendensi bersikap praktis terhadap pemilu. Praktis yang mengarah pada pragmatisme, bukan dalam perjuangan ideologis. Akibatnya di kampus-kampus saat ini marak dengan bisnis mobilisasi massa dari suatu kelompok. Hal ini menjadi ironis, sebab mahasiswa memiliki sikap kritis dan harus objektif dalam penilaian. Berbeda dengan perjuangan mahasiswa masa orde lama dan orde baru, gerakan-gerakan politik sangat kuat. Mahasiswa memantau pengalaman dan riwayat calon-calon presiden. Sudah seharusnya ini dilakukan pada masa pemilu yang kesepuluh, tahun 2009. Karena status mahasiswa, tindakan praktis tidak dapat dilakukan banyak sebagai tindakan merealisasikan ide secara ideologis atau pun secara objektif.

Namun ironisnya, penyikapan mahasiswa saat ini justru didominasi dengan pragmatisme. Mahasiswa seperti ini disebabkan atas tujuan meraup keuntungan demi alasan ekonomi. Motif ekonomi ini untuk mencukupi kebutuhannya sebagai mahasiswa, sebab mahasiswa saat ini dihadapkan dengan tarif kuliah yang tinggi akibat disahkannya status BHP. Para calon pemimpin, baik legislatif maupun presiden, dalam melakukan kampanye tidak segan-segan mengeluarkan dana besar sehingga mahasiswa ingin meraup keuntungan dari hal tersebut.


* Penulis adalah anggota Front Demokratik Bandung, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

Prakarsa Rakyat

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes