ARTIKEL PINTASAN

Monday, October 13, 2008

Senioritas dan ‘Sastrawan’



Seorang junior pernah mengeluh pada saya terhadap tindakan seorang panitia PFS (Pengenalan Fakultas Sastra), tahun ini. Junior tersebut mengeluhkan karena perilaku yang tidak pantas. Perilaku yang merupakan wujud eksplorasi privat. Beberapa barisan junior, dalam hal ini akan saya sebut peserta karena konotasi junior memberikan dampak secara eksplisit pemisahan antara mahasiswa lama dan mahasiswa baru, diminta oleh panitia memisahkan diri berdasarkan status kasih berlainan jenis, maksudnya adalah pemisahan antara peserta yang memiliki pacar atau belum memiliki pacar. Lalu dimanakah korelasi antara perilaku tersebut dengan esensi PFS?

Dari perilaku tersebut, peserta melakukan kebohongan. Ketika saya tanya peserta yang mengadu tersebut, apa yang dilakukan? Dia hanya menjawab “Saya bergabung pada kerumunan orang-orang yang jomblo” Padahal peserta tersebut, jenis kelaminnya perempuan yang menurut subjektif saya termasuk perempuan cantik, berstatus tidak jomblo. Dapat disimpulkan bahwa panitia tersebut telah mendidik peserta PFS berbuat tidak jujur. Implikasinya ke depan kemungkinan besar adalah perilaku pembohong. Jika hal ini terjadi, siapa yang dapat bertanggung jawab atas didikan psikologi yang termasuk dalam konototasi negatif tersebut? Budaya senioritaskah atau seniornya? Lalu apakah yang didapatkan peserta dari PFS 2008? Apakah peserta sudah tahu banyak tentang fakultas sastra secara fisik? Saya kira tidak, karena nyatanya masih banyak mahasiswa baru yang mempertanyakan dimana letak gorky park, kantin Atep, mushola al-muslih dan bahkan masih ada yang tidak tahu ruang sekretariat BEM.

Karena hal itu, secara konkret saya melakukan hegemoni tandingan, yakni pada kesempatan acara ‘camp sastra’. Acara ini berlangsung di kaki gunung Manglayang dan bumi perkemahan Kiara Payung 12 Oktober. Peserta yang hadir memang jauh dari target, hanya empat orang mahasiswa baru dan dua orang mahasiswa lama (diantaranya saya). Tapi saya berharap dari empat orang tersebut dapat membangun ‘jaringan’. Artinya, dari keempat orang itu akan mampu menceritakan apa yang telah didapatkan pada acara ‘camp sastra’. Ada beberapa hal terapan pada acara tersebut.

Pertama, kebebasan. Kebebasan disini adalah kebebasan berpikir dan kebebasan berargumen. Sejak awal acara, pada saat masih berada di kampus (sebagai tempat ngumpul) hingga akhir acara mahasiswa baru selalu diberikan kebebasan berpikir tanpa ada hal yang mengikat, baik tekanan batin maupun tekanan berekspresi. Hasilnya, mereka banyak mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan fundamen, diantaranya: Dari mana bahasa manusia berasal? Apa korelasi bahasa dialek nusantara kita? Wacana kebahasaan memang diberikan kepada mereka karena objek sastra adalah bahasa.

Kedua, keakraban. Keakraban diperlukan dalam menghadapi kehidupan dunia kampus, melihat banyaknya tekanan-tekanan yang berasal dari pihak birokat. Misalnya saja pada kasus D.O (Drop Out) beberapa waktu lalu yang banyak menelan korban. Maka, keakraban sejak dini sangat perlu ditanamkan pada ‘sastrawan-sastrawan’ tersebut, ‘sastrawan’ yang saya maksud bukan berarti ‘sastrawan’ dalam artian secara umum. Keakraban dituangkan pada acara makan dan break. Pada sesi makan, semua nasi disatukan plek agar terasa kebersamaan dan kolektifitas.

Ketiga, meniadakan strata. Hal ini dimaksudkan agar dalam kritik-mengkritik tidak ada lagi rasa sungkan-sungkan terhadap mahasiswa lama. Dan, mahasiswa baru tidak diharuskan menggunakan kata sapaan kang kepada mahasiswa lama. Saya kira akan rancu jika penyapaan kang diperlukan untuk menghargai mahasiswa lama. Lalu apakah mahasiswa baru tidak perlu dihargai? Kalau perlu, sapaan apa untuk mereka? Lalu, jika harapannya adalah tata krama terhadap masyarakat dalam penyapaan, saya kira perlu ada penelaahan budaya penyapaan kang dan teteh. Mengapa penyapaan itu ada? Hasil dari hal ketiga ini, mahasiswa baru itu tidak lagi sungkan-sungkan dalam mengkritik karya-karya sastra yang diciptakan oleh mahasiswa lama, meskipun mereka belum mengetahui khaidah-khaidah kritik sastra tetapi yang terpenting adalah keberanian mereka dalam mengkritik dan keberanian berargumentasi sebagai langkah awal menjadi mahasiswa sastra.

Keempat, aktif dan produktif. Aktif disini bukanlah aktif dalam berpacaran, seperti perilaku yang diberikan oleh panitia PFS (lihat di atas). Diharapkan mahasiswa sastra, dengan berkegiatan di Komunitas Sastra Langkah, dapat berperan aktif dan mampu berkontribusi dalam kesusastraan Indonesia khususnya dan kesusatraan universal umumnya. Hal ini diterapkan pada penghujung ‘camp sastra’, terlihat mencengangkan bagi saya ketika mereka begitu memahami seni pertunjukan, yakni pertunjukan pembacaan puisi.


Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes