Terdakwa kasus penistaan agama Basuki Tjahya Purnama divonis 2 tahun penjara, Selasa 9 Mei 2017. Oleh pengadilan, ia dianggap bersalah karena ucapannya di Pulau Seribu, Jakarta, mengandung muatan penistaan terhadap agama Islam.
Jauh sebelum kasus yang menimpa bekas politisi Gerindra dan Golkar itu, ada filsuf Yunani Sokrates mengalami hal yang sama. Hal ini terjadi pada tahun 399 SM. Sokrates diajukan ke pengadilan dengan tuduhan menggagas Tuhan baru di luar Tuhan yang diakui negara Athena pada masa itu.
Dalam proses persidangannya, pengadilan mendapatkan tekanan publik. Tuduhan dan penilaian terhadap Sokrates pun berkembang ke mana-mana. Di antaranya, ia dianggap atheis dan ada pula yang menganggapnya "Tuhan baru".
Di penghujung persidangan, Sokrates akhirnya ditetapkan bersalah dan dijatuhi hukuman mati. Bagi Sokrates, hukuman yang ia terima terasa tidak adil karena tuduhan kepada dirinya tidak terbukti di persidangan. Ia paham bagaimana para penuduh memberi pengaruh terhadap pengambil keputusan. Ia terima keputusan itu sebagai warga Athena yang patuh terhadap hukum.
Selanjutnya ada kasus mirip di dunia seniman musik. Berawal dari ucapan musisi The Beatles, John Lennon. Ia mengatakan "The Beatles lebih populer daripada Yesus." Pernyataan itu dimuat di Evening Standar pada Maret 1966, berdasarkan wawancara jurnalis Inggris berma aMaureen Cleave dengan John Lennon. Empat bulan kemudian, hasil wawancara itu muat kembali di Datebook, Amerika Serikat.
Dari sana muncul kemarahan pemeluk agama Kristen karena menganggap perkataan John Lennon adalah pelecehan terhadap Yesus. Kerusuhan terhadi di mana-mana, di berbagai negara, hingga petinggi Vatikan pun memberi reaksi. Protes keras terhadap John Lennon dan The Beatles dilakukan dengan cara membakar piringan atau kaset The Beatles.
John Lennon tidak dihukum seperti Sokrates. Hanya saja, ia dihukum dengan cara yang lebih keji oleh penggemarnya sendiri, bernama David Chapman. John Lennon dibunuh dengan tembakan pistol oleh Chapman pada 8 Desember 1980. Chapman ternyata diketahui penggemar yang terganggu kejiwaannya. Pembunuhan itu tidak bisa dilepaskan dari kontroversi John Lennon tahun 1966. Setelah diselidiki, selain kejiwaan, Chapman juga merupakan penganut Kristen konservatif.
Sementara di Indonesia ada kasus-kasus penistaan agama sebelum Ahok -panggilan akrab Basuki Tjahya Purnama- dengan pola yang tidak jauh berbeda. Dimulai dari kasus HB Jassin, Arswendo, hingga Lia Eden. Ketiganya adalah kasus yang juga menyita perhatian publik di masanya, tak ubahnya kasus Ahok yang menciptakan demo-demo massa secara rutin.
Dari rentetan kasus ini, ada banyak hal yang dapat jadi dipahami. Pertama, agama sebagai objek hukum akan sulit ditelaah. Hukum menggunakan paradigma positivistik. Dalam cara pandang positivisme, setiap hal harus dibuktikan secara inderawi. Di sinilah letak perbedaan antara ranah agama dan hukum. Tidak semua dimensi keagamaan dapat dibuktikan karena memuat unsur keyakinan (iman) dan wahyu, sementara hukum wajib membuktikan baik terkait tuduhan maupun sangkalan.
Kedua, keberagamaan simbolik. Penistaan sebenarnya masalah yang berawal dari persoalan simbolik. Bermula dari bahasa -sebagai simbol- menjadi di luar kesimbolan. Di mana pun dan sampai kapan pun, akan selalu ada manusia beragama secara simbolik atau menitikberatkan pada simbolismenya, bukan pada hakikat atau subtansinya.
Ketiga, common opinion mempengaruhi keputusan pengadilan. Secara tidak langsung, tuntutan massa dan desakan publik memberi dampak terhadap keputusan pengadil. Hal ini sering terjadi di dalam persidangan yang membawa persoalan atau objek persidangan terkait isu agama.
Dapat simpulkan bahwa vonis Ahok merupakan penanda masalah hukum yang tak pernah usai. Sampai kapan pun hukum tidak dapat mengobjektifkan persoalan keagamaan.