ARTIKEL PINTASAN

Thursday, April 30, 2009

Pesan pada Dua Esai, "Aku dan Bahasa" dan "Matinya Bahasa Sunda"



Ciri utama jenis tulisan esai adalah penggunakan kata ‘aku’ atau ‘saya’, lebih tepatnya penulis cenderung aktif sehingga kalimat-kalimat aktif pun sering muncul. Saya dan Bahasa (anonim) salah satu contohnya. Pada tulisan tersebut penulis menggunakan sudut pandang pertama (saya). Ada beberapa kalimat aktif yang dapat ditemukan dalam tulisan tersebut, seperti:

Usia lima tahun, melewati Inggris, Prancis, dan Italia mereka membawa saya kembali ke Indonesia, untuk kemudian tinggal di Yogyakarta, dan sejak saat itu sedikit demi sedikit terhapuslah perbincangan bahasa Inggris dari mulut saya, untuk berganti dengan bahasa Jawa.

Demikianlah mula-mula saya berbahasa Jawa untuk berkomunikasi dengan teman-t eman sepermainan, dan setelah itu berbahasa Jawa pula dengan orangtua saya.

Akibatnya, saya sering menjumpai, jika ada majikan kebetulan menikahi pembantu rumah tangganya, maka mantan pembantu rumah tangga ini akan tetap berbahasa seperti kepada majikan terhadap anak maupun cucunya sendiri.

Artinya kalau saya berbahasa krama kepada seseorang yang tidak saya kenal, maka kepada kakek saya dari pihak bapak mau tidak mau saya harus berbahasa krama inggil, jika tidak itu berarti saya menganggap kakek saya lebih rendah dari seorang asing.

Demikianlah sistem nilai dalam bahasa Jawa ini terkukuhkan ketika saya memasuki sekolah dasar pada usia enam tahun, setelah sebelumnya setahun digaulkan di taman kanak-kanak.

Harus saya katakan betapa saya merasa mendapat pembebasan dalam bahasa Indonesia , karena dalam bahasa Indonesia tidak terdapat peringkat seperti dalam bahasa Jawa.

Inilah kalimat-kalimat aktif tersebut. Kalimat-kalimat ini belum mewakili secara keseluruhan tulisan tersebut, masih pada paragraph ke empat.
Pada kalimat pertama, penulis ingin menyamaikan pengelamannya atas proses logat bahasa pada dirinya. Sebelum usia lima tahun, ‘saya’ sebagai penulis telah menjalani hidup di tiga negara, yakni Inggris, Perancis, dan Italia, hingga akhirnya penulis tinggal di Indonesia yang mengakibatkan perbincangan bahasa Inggrisnya sedikit demi sedikit terhapus.
Kalimat kedua, bahasa Jawa menjadi titik pembicaraan. Penulis menjadi ‘aktor’ langsung dalam penuturan bahasa Jawa tersebut, pada teman-teman seperminannya maupun pada orang tuanya.
Pada kalimat ketiga, salah satu ciri utama kalimat aktif adalah penggunaan imbuhan me-i atau me-kan pada sebuah kalimat, seperti pada kalimat ketiga tersebut terdapat kata menjumpai. Penulis langsung (aktif) melihat pembantu yang menikah dengan majikannya. Namun, ironisnya terdapat kata sering pada kata sebelumnya, sehingga member arti bahwa masyarakat Jawa sering melakukan pernikahan melalui hubungan majikan dengan pembantu.
Kalimat keempat permasalah yang mengakibatkan adanya tulisan tersebut adalah bahasa karma, suatu bagian dri tingkatan bahasa Jawa. Dan, penulis merupakan orang yang melakukan (aktif) berbahasa karma.
Kalimat kelima, sama hampir sama dengan kalimat ketiga, yakni penggunakan imbuhan me-i dalam kalimat bertingat tersebut. ‘Saya’ mendapati sistem nilai bahasa Jawa dikukuhkan pada saat dirinya berada di bangku Sekolah Dasar. Tetapi, hal tersebut bukanlah suatu hal yang asing bagi dirinya sebab pada saat taman kanak-kanak pun sudah ada.
Pada kalimat keenam, kalimat ini seperti ada penegasan oleh penulisnya mengenai bahasa Indonesia yang tidak memiliki tingkatan, dalam hal ini dibandingkan dengan bahasa Jawa. Di awal kalimat, penulis menyatakan harus untuk hal yang didapatinya terhadap bahasa Indonesia tersebut.
Secara keseluruhan, kalimat-kalimat tersebut merupakan pernyataan dan pengalaman dari penulisnya. Wacana yang terbangun pada tulisan tersebut adalah pengalaman penulisnya. Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, penggunakaan kata ‘saya’ dan kalimat-kalimat aktif menjadi indikasinya. Bahasa adalah objek pembicaraannya, sementara bahasa Jawa, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris menjadi bagian pembahasan objek tersebut. Dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa pernyataan penulisnya adalah bahasa Jawa merupakan bahasa yang berbeda dari bahasa Indonesia secara penuturnya yang mengakibatkan adanya tingkatan bahasa.
Bila dibandingkan dengan tulisan yang berjudul Matinya Bahasa Sunda, kalimat-kalimat yang digunakan oleh penulisnya dominan dengan kalimat pasif. Namun, penggunaan kata ‘saya’ atau sudut pandang sama halnya seperti pada Aku dan Bahasa.
Pesan yang ingin disampaikan oleh penulisnya pada Matinya Bahasa Sunda adalah kekhawatirannya terhadap kondisi bahasa Sunda pada saat penulis tersebut menulis Matinya Bahasa Sunda. Referensi menjadi tolak ukur, artinya tidak ada kalimat-kalimat yang menyatakan penulisnya mengalami langsung. Hal itu terlihat dengan adanya kutipan-kutipan pada tulisan tersebut. Bahkan, dapat dikatakan tulisan tersebut merupakan tulisan hasil analisis kepustakaan.
Adanya gaya penulisan tersebut, penulis ingin menempatkan dirinya berada diluar konteks. Artinya, penulis tidak mencerminkan keberpihakan atas sebab yang ditimbulkan dari kondisi bahasa Sunda atau pun akibatnya. Tetapi, hal ini tidak dapat menjelaskan latar belakang penulisnya. Padahal, dengan mengetahui latar belakang penulis dapat membuat pembaca tulisan tersebut lebih yakin.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes