ARTIKEL PINTASAN

Monday, September 29, 2008

Hidup Tanpa Sia-sia



Seorang teman saya mengatakan bahwa hidup adalah sia-sia. Dia mengatakan itu berulang-ulang kali. Dan dia menambahkan, orang membangun gedung setelah itu dihancurkan. Dapat disimpulkan, kesia-siaan yang dimaksud olehnya adalah sia-sia dalam perspektif individualis dan dalam perspektif waktu. Tujuan hidupnya ingin kekal selamanya. Sama halnya dengan bangunan tersebut yang selalu ingin berdiri tegak di bumi. Artinya, jangka waktu sia-sia dalam pandangan teman saya itu abadi atau selama ada dunia.

Perkataan tersebut selalu dia ucapkan ketika melakukan diskusi mengenai kehidupan manusia, tanpa terkecuali lawan diskusinya. Rekontruksi yang tertancap dalam pikirannya mengenai kesia-siaan tersebut sudah sangat dalam, sehingga dia selalu mengutarakan pikiran yang dianggap ideal tersebut.

Seorang wanita telah dilengkapi oleh Tuhan dengan keindahan jiwa dan raga adalah sebuah kebenaran, yang sekaligus nyata dan maya, yang hanya bisa kita pahami dengan cinta kasih, dan hanya bisa kita sentuh dengan kebajikan (Kahlil Gibran, Sayap-sayap Patah). Sajak tersebut mengungkap sebuah fakta dan maya mengenai kecantikan yang dimiliki oleh perempuan. Jika dikaitkan dengan bahasan ini, pertanyaannya adalah apakah kecantikan seorang perempuan sia-sia? Kecantikan seorang perempuan yang dimiliki tidak mutlak selama dalam hidupnya, artinya temporary. Aplikasi dari kemolekan tubuh tersebut, ada beberapa hal, yakni mendapatkan pasangan yang setara (cantik-ganteng, seksi-gagah, meski hal ini relative), kaya dengan harta, dan pintar. Salah satu dari beberapa yang telah disebutkan dicapainya, hal ini berarti kecantikan yang ada pada diri perempuan telah berfungsi dengan baik, sesuai dengan keinginan. Contoh lain, seorang mahasiswa yang telah menekuni akademik dan mendapatkan nilai diatas rata-rata dalam kelulusannya akan mengalami depresi jika hasil akedemik yang didapati tidak memiliki fungsi. Dapat dikatakan mahasiswa yang telah lulus tersebut menganggur dengan titel yang disandang olehnya. Waktu empat tahun (normative) telah dilalui, waktu tersebut merupakan waktu yang sia-sia bagi dirinya. Jika waktu tersebut digunakan dengan baik, maksudnya sebagai waktu mencari pekerjaan, maka kemungkinan besar yang terjadi adalah pekerjaan telah didapati.

Sia-sia mengandung makna lepas tujuan. Suatu pekerjaan atau proses yang dilakukan setiap manusia dengan sadar maupun tidak sadar pasti memiliki tujuan. Seperti yang dilakukan oleh kaum revolusioner Rusia pada tahun 1908, Gorky mengundang Lenin dengan tujuan melakukan diskusi kecil-kecilan di suatu tempat, yakni Capri. Mereka melakukan diskusi dengan kelompok intelektual yang bernama kelompok Otzovist1. Aplikasi dari kelompok diskusi tersebut berjalan sesuai sasaran. Pada tahun yang sama di bulan Oktober, Rusia mengalami revolusi awal secara kecil-kecilan. Hal tersebut dikarenakan gerakan buruh di Capri sedang amburadul bahkan diiukuti gerakan mahasiswa atau kaum intelektual (Intelektual Bolsyewik) hal yang sama. Terlepas dari masalah tersebut, tujuan kelompok diskusi telah mengalami capaian yang efektif. Seperti yang kita ketahui, bahwa revolusi besar-besaran di Rusia telah terjadi. Awalnya mungkin orang tidak menyangka bahwa revolusi di Rusia diawali dengan diskusi kecil-kecilan.

Kontradiksinya dari hal tersebut, di Rusia tidak akan mengalami revolusi. Jika revolusi tidak terjadi, maka dapat disimpulkan bahwa diskusi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tersebut adalah sia-sia. Suatu proses yang tidak mencapai tujuan. Meskipun tujuan suatu pekerjaan/proses terkadang berada di bawah alam sadar kita, seperti yang saya utarakan di atas. Tetapi, dalam hitungan waktu di prosesnya akan muncul pula tujuan tersebut.

Manusia ‘modern’ saat ini tidak jarang mempertanyakan “Untuk apa melakukan ini? Untuk apa melakukan itu?”. Pada suatu kelompok diskusi yang saya jalani, karena kuantitas peserta/anggota sedikit, saya mengajak teman-teman terdekat untuk bergabung secara ‘terang-terangan’ atau gamblang tetapi muncul dari mereka sebuah pertanyaan “Mau dibawa kemana kelompok ini? Untuk apa kelompok diskusi ini?”. Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa manusia modern selalu mendahulukan tujuan dan fungsi. Tanpa mengetahui fungsi dan tujuannya, spirit untuk melakukan proses atau pekerjaan tersebut tidak ada. Contoh kasus di atas, jika saya tidak memaparkan secara jelas tujuan dan fungsi kelompok diskusi itu maka mereka kemungkinan besar tidak akan bergabung. Karena pemikiran mereka. Pemikiran yang menyatakan sia-sia merupakan suatu tindakan tanpa wujud.

Pendekatan insting

Sebuah gedung yang kita bangun akhirnya akan dihancurkan oleh orang lain”, kata ini selalu menjadi argument dia. Argument yang berpandangan materialis, dan kausalitas dari argument tersebut adalah manusia. Sebuah gedung berdiri è dalam kurun waktu akan dihancurkan oleh orang lain è manusia memiliki insting.

Insting berarti naluri. Dalam sejarah filsafat, banyak pemikiran-pemikiran menelaah mengenai insting. Sejarah filsafat ini diyakini bermula dari lahirnya teori Darwin, yakni teori evolusi. Para penerus pemikiran teori Darwin tersebut, diantaranya William James (1890), McDougall (1913). Para pakar tersebut menyatakan bahwa masing-masing insting individu akan memunculkan jenis-jenis perilaku yang serupa2.

Insting merupakan gejala awal sebagai ‘motor’ perilaku-perilaku manusia. Manusia tanpa insting tidak akan dapat hidup secara ‘manusia’. Dalam percintaan manusia, take and give kasih tidak dapat muncul tanpa adanya insting. Begitu pula dengan penghancuran material. Adanya sebuah penghancuran diawali dengan proses ‘pembangunan’. Pembangunan dan penghancuran tersebut merupakan bagian dari kategori insting, seperti yang dikatakan oleh William james berikut.

“…berkenaan dengan insting peniruan, persaingan, kesukaan bertengkar, simpati, berburu, kekhawatiran, ketamakan, kleptomania, kesukaan membangun, bermain, kecemasan, keramahan, kerahasiaan, kebersihan, kesopanan, cinta, cemburu, - sebuah daftar panjang yang mencampur-adukkan antara sifat-sifat yang universal dan ciri-ciri bawan tertentu yang terkondisi secara sosial (J.J. McDermott, ed.,1967)

Bermula dari sebuah insting, pembangunan dan pengrusakan terus terjadi selama manusia masih menghuni bumi. Terlepas kausalitas filosofis antara ide dan materi, semua pembangunan di bumi ini bermula dari insting manusia.

Marx mengutarakan, ada dua kebutuhan pokok menusia, yakni ’makan’ atau bertahan hidup dan seks. Hampir sama dengan yang diutarakan oleh Marx, ahli Psikoanalisis, S. Freud, mengatakan.

“… bahwa seksualitas (libido) dan pertahanan-diri merupakan dua kekuatan yang mendominasi manusia.” (Erich Fromm, Akar Kekerasan, hal 6)

Semua kegiatan manusia di bumi ini bermula dari dikotonomi isnting tersebut. Manusia melakukan pekerjaan karena naluri bertahan hidup yang menggerakkan. Tidak dapat lagi penilaian baik atau salah dengan koherensi efek, karena dalam situasi saat ini (baca: Neoliberal). Etika yang ditawarkan oleh budaya dan teori-teori ilmiah pun tidak berfungsi dengan baik. Sebab, manusia untuk mempertahankan hidup dalam keadaan ‘situasi bingung’. Dampaknya banyak menimbulkan kejahatan-kejahatan atau pelanggaran norma maupun etika (etika yang dimaksud adalah aturan yang dibuat karena tanpa adanya aturan dapat merugikan orang lain).

Pendekatan ini tidak akan ditelaah lebih dalam lagi, karena pendekatan ini hanya dimaksudkan pemaparan mengenai kehidupan manusia. Dapat disimpulkan dari pendekatan ini, manusia membangun sebagai pemenuhan naluri bertahan hidup, dan manusia melakukan proses seks (bersetubuh) sebagai pemenuhan naluri. Jika kedua hal tersebut dapat tercapai, maka kebutuhan pokok manusia terpenuhi.

Lalu dalam hal ini, pertanyaan yang muncul adalah dimana letak kesia-siaan yang dimaksud teman saya itu?

Materialis

Di awal saya mengatakan bahwa perspektif yang digunakan teman saya adalah perspektif individu. Indikasi pemikiran tersebut terlihat ketika tanpa ada sudut pandang lain. Artinya, tanpa memperdulikan kegunaan atau tujuan yang akan dicapai oleh orang lain. ‘Penghancuran sebuah gedung’ sebenarnya ada beberapa faktor. Pertama, penghancuran yang dilakukan karena tempat tersebut akan digunakan oleh orang lain. Sebuah penghancuran yang selalu mempertimbangkan fungsi dari gedung tersebut dengan yang akan di’fungsikan’. Saat ini (baca: Kapitalisme) tidak menggunakan hal ini, karena yang selalu digunakan dalam kehidupan kapitalisme adalah ‘hukum rimba’. Orang yang lebih berhak adalah orang yang terkuat dari materi. Maka, bangunan yang telah berdiri akan hancur dengan orang yang memiliki lebih ‘nilai’. Pada esensinya, seharusnya yang dilakukan adalah pertimbangan fungsi. Karena sejatinya manusia masih selalu memiliki fungsi yang lebih bersifat kolektif bukan individu. Kedua, tidak berfungsi secara efektif. Artinya, gedung yang berdiri gagah jauh dari fungsi semula. Misalnya sebuah Doom, fungsinya adalah sebagai tempat pertemuan dan prosesi suatu acara. Namun, karena proses dialektika material gedung tersebut tidak pantas lagi berfungsi sebagai tempat pertemuan atau prosesi acara. Konkretnya, gedung itu telah mengalami keretakan dan dinding-dinding di’selimuti’ oleh jamur atau pun lumut-lumut. Maka, gedung tersebut dengan kesepatan bersama harus dihancurkan atau bahkan direhabilitasi.

Pada ungkapan teman saya, tepatnya kesia-siaan yang dimaksud merupakan akibat dari proses dialektika material. Seperti ‘bapak’ material dialektik historis, Marx, mengutakan bahwa segala materi di muka bumi ini akan mengalami proses, artinya tidak diam, hal ini disebabkan karena adanya dialektika materialis.

“Segala hal mengalir dan tak satupun yang tinggal diam."

(Heraclitus)

Begitu pula dengan tubuh manusia. Tubuh adalah materi, sehingga sesuai dengan waktu berjalan akan berakibat ‘kehancuran’. Misalnya saja, manusia dapat mengalami sakit dari bagian tubuhnya. Hal ini juga karena materi saling berkontaminasi dengan materi lain. Tubuh manusia yang berkontaminasi dengan udara, panas matahari, dan lain-lain. Dapat disimpulkan bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak akan abadi. Dan, sejatinya tidak akan ada gedung yang kekal. Sama halnya dengan cinta, karena ada kontaminasi dari perempuan-perempuan atau laki-laki lain maka cinta akan mengalami perubahan. Saya tidak akan panjang lebar membahas materialis dialektis, karena saya juga kurang mendalami ilmu ini.

-freds, september, 08-

Daftar pustaka

Althusser, Louis. 2007. Filsafat Sebagai Senjata Revolusi. Yogyakarta: Resist Book.

Fromm, Erich. 2001. Akar Kekerasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wood, Alan, dkk. Materialisme yang Dialektik, in Defence of Marxism. www.marxist.com


Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes